INDONESIA
PADA ZAMAN KUNO
1. Pengantar
Dalam modul terdahulu telah
dibicarakan tentang perkembangan sejarah Indonesia pada zaman prasejarah. Pada
modul ini kita akan membicarakan perkembangan tersebut setelah bangsa Indonesia
berhubungan dengan bangsa-bangsa lain, di antaranya dengan India dan Cina.
Adanya hubungan dengan negara-negara tersebut belakangan itu telah membawa
pengaruh besar terhadap perkembangan bangsa Indonesia. Dengan hubungan itu
bangsa kita telah mulai zaman sejarah.
Menurut bukti-bukti sejarah,
hubungan antara Indonesia dengan kedua negara yang dimaksudkan itu telah
berkembang sejak permulaan abad Masehi. Walaupun demikian bukti-bukti atau
keterangan yang pasti belum diketahui. Banyak di antara keterangannya masih
samar-samar.
Mengenai proses bagaimana
penyebaran pengaruh Hindu ke Indonesia itu pun banyak menimbulkan berbagai
tafsiran atau teori. Teori-teori itu berkembang dalam: teori Brahmana, teori
Ksatrya, teori Waisya, dan teori Arus Balik.
Pengaruh Hindu (India) yang
lazimnya disebut Hinduisme berkembang kuat di Indonesia, meliputi pandangan
hidup yang bersumber kepada agama Budha dan agama Hindu dari berbagai aliran.
Atas dasar sumber tersebut kebudayaan bangsa Indonesia berkembang menjadi
kebudayaan Indonesia yang bercorak Hindu. Lazimnya hal tersebut dinamakan
Indonesia-Hindu. Dalam kebudayaan yang bercorak demikian itu kita masih dapat
membedakan mana peninggalan yang bersifat Buddhistis dan mana yang bercorak
Hinduistis.
Selanjutnya dalam proses
penyebaran lebih jauh, peranan bangsa Indonesia tidak dapat dikesampingkam
begitu saja. Bukti kuat menyatakan bahwa peranan aktif dalam proses penyebaran
pengetahuan dan agama Hindu membuka mata kita akan hal itu.
Kemudian uraian tentang kehidupan
beragama (Hindu), kehidupan sosial budaya, ekonomi serta kehidupan kenegaraan
akan sedikit memberikan gambaran tentang adanya pengaruh yang berkembang di
Indonesia.
2. Tujuan Instruksional Umum
Setelah membaca dan menelaah
modul ini Anda diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai
kehidupan bangsa Indonesia pada Zaman Kuno.
3. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah membaca dan menelaah modul ini Anda
diharapkan dapat:
- menjelaskan hubungan dagang yang terjadi antara Indonesia dengan India;
- menjelaskan berbagai pendapat mengenai masuknya pengaruh Hindu di Indonesia;
- menjelaskan persamaan dan perbedaan pengaruh Buddha dan Hindu di Indonesia;
- menyebutkan bukti-bukti adanya pengaruh Hindu permulaan di Indonesia;
- menjelaskan peranan bangsa Indonesia dalam penyebaran pengaruh Hindu dan Buddha di Indonesia;
- menjelaskan pengaruh Hindu dan Buddha dalam kehidupan keagamaan;
- menjelaskan pengaruh Hindu dan Buddha dalam kehidupan sosial-ekonomi dan budaya;
- menjelaskan pengaruh Hindu dan Buddha dalam kehidupan kenegaraan dan
- menjelaskan pengaruh Hindu dan Buddha dalam seni bangunan.
4. Kegiatan Belajar
4.1 Kegiatan Belajar 1
HUBUNGAN
INDONESIA DENGAN INDIA DAN CINA
4.1.1 Uraian dan Contoh
Kepulauan Indonesia terbentang
antara dua benua dan dua samudera. Masing-masing ialah benua Asia dan Australia
serta samudera Hindia dan Pasifik. Letak demikian merupakan jembatan yang sangat
strategis bagi perhubungan internasional, baik pada masa dahulu maupun pada
masa sekarang. Tambahan pula letak geografis Indonesia terdapat di daerah
khatulistiwa, sehingga apabila dilihat dari keadaan iklim daerah kepulauan ini
dari tahun ke tahun selalu dapat dilalui oleh alat transpor air. Itulah salah satu
faktor yang memungkinkan lancarnya perhubungan antara Indonesia sebagai daerah
kepulauan dengan negara-negara India dan Cina. Kedua negara yang disebut
terakhir itu merupakan negara-negara besar di kawasan ini pada permulaan tarikh
Masehi.
Sejak zaman prasejarah, para ahli
sejarah menggambarkan bahwa penduduk kepulauan Indonesia memiliki sifat-sifat
dan semangat berlayar. Mereka mampu mengarungi lautan lepas dengan
mernpergunakan perahu lesung bercadik, alat transportasi di laut pada waktu
itu. Hubungan antara pulau dan hubungan dengan daerah pedalaman serta hubungan
dengan daerah luar, menggunakan perahu lesung bercadik yang dianggap sebagai
alat yang paling praktis dan khas bagi bangsa Indonesia pada masa yang telah
silam.
Terdapatnya hubungan antarpulau
dan hubungan dengan dunia liar ada kecenderungan merusakan hubungan perdagangan.
Pada khususnya perdagangan itu terjadi karena pertukaran antara berbagai hasil
daerah. Demikian pula perdagangan dalam masa ini sudah barang tentu tidak dapat
diartikan sebagai perdagangan seperti kita kenal sekarang ini. Perdagangan pada
waktu itu dapat diartikan sebagai pertukaran barang dengan barang yang disebut
inatura.
Hubungan dagang antarpulau lambat
laun berkembang menjadi perdagangan yang lebih luas. Di atas telah dikemukakan, bahwa hubungan
antara Indonesia dengan India dan Cina telah berkembang sejak permulaan tarikh Masehi. Salah seorang sarjana Belanda bernama J.C.Van Leur mengemukakan pendapatnya bahwa perdagangan itu telah terjadi dengan dunia luar terlebih dahulu dengan negeri India. Barulah kemudian menyusul dengan negeri Cina.
antara Indonesia dengan India dan Cina telah berkembang sejak permulaan tarikh Masehi. Salah seorang sarjana Belanda bernama J.C.Van Leur mengemukakan pendapatnya bahwa perdagangan itu telah terjadi dengan dunia luar terlebih dahulu dengan negeri India. Barulah kemudian menyusul dengan negeri Cina.
Anggapan tersebut di atas tidak
disertai angka-angka tahun yang pasti, kapan hubungan itu dimulai. Hal tersebut
disebabkan karena sumber-sumber yang memberikan keterangan jelas tidak ada.
Bahan-bahan keterangan yang didapat hanya berupa buku-buku sastra.
Beberapa buku sastra India dan
buku-buku lainnya mengungkapkan keterangan yang samar-samar tentang negeri ini.
Bahan-bahan tersebut berasal dari sekitar abad ke-2 Masehi, yang antara lain
sebagai berikut:
1. Buku Jataka
Kitab ini ditulis oleh penulis
India dan berisi ceritera yang menggambarkan tentang kehidupan sang Buddha. Di
dalamnya disebutkan nama-nama negeri antara lain sebuah negeri bernama
Suvannabhumi. Dalam bahasa Indonesia nama tersebut berarti negeri emas. Dari
nama itu ada pula yang menafsirkan letaknya di sebelah timur teluk Benggala. Lalu
kita dapat mengira, apakah nama Suvannabhumi itu identik dengan nama
Suwarnabhumi. Hal itu tidak jelas, sedangkan orang sering beranggapan, bahwa
Suwarnabhumi sama dengan pulau Sumatera.
2. Buku Ramayana
Buku ini pun ditulis oleh
pujangga India, bernama Walmiki. Isinya menceritakan tentang kisah Rama dan
Dewi Shinta. Di dalamnya menyebutkan dua nama tempat, yaitu Jawadwipa dan
Suwarnadwipa. Jawadwipa berarti pulau Jawa, sedangkan Suwarnadwipa berarti
pulau Sumatera.
3. Buku Periplous tes Erythras Thalasses
Buku ini berasal dari penulis
Yunani. Isinya pedoman tentang geografis pelayaran di daerah Samudera Hindia.
Di antaranya disebutkan salah satu tempat bernama Chryse. Nama itu berarti
emas, yang sering dihubungkan oleh para penulis sekarang dengan nama
Suwarnabhumi atau Suwarnadwipa.
4. Buku Geographike Hypegesi-s
Penulis buku ini juga seorang
bangsa Yunani di Iskandariah bernama Claudius Ptolomeus. Isi buku tersebut
sebuah petunjuk tentang membuat peta. Di dalamnya ditemukan nama-nama tempat
seperti: Argryre Chora (=negeri perak), Chryse Chora (= negeri emas) dan Chryse
Chersonesos (=semenanjung emas). Selain tempat-tempat tersebut ditemukan pula
dalam buku itu nama labadiou (= pulau jelai). Para ahli sejarah sering
menghubmgkan nama labadiou dengan Jawadwipa, yakni pulau Jawa.
Dari keterangan tersebut di atas,
baik dari para penulis India maupun dari para penulis lainnya, nama-nama tempat
di kawasan bumi belahan ini, ada yang pasti dan ada pula yang samar-samar,
kenyataannya telah terdaftar sebagai catatan geografis. Keterangan itu sudah
barang tentu mereka dapatkan dari para pedagang yang mengadakan pelayaran dan
mereka telah berlayar mengarungi belahan bumi ini.
Menurut sejarahwan Belanda, J.C.
Van Leur, barang-barang yang diperdagangkan dalam pasaran internasional di Asia
Tenggara pada waktu itu ialah barang-barang bernilai tinggi, seperti: logam
mulia (emas dan perak), perhiasan, barang tenunan, barang pecah belah dan
berbagai barang kerajinan, wangi-wangian serta obat-obatan.
Selanjutnya kita lihat sejenak
bagaimana keterangan yang bersumber dari negeri Cina. Menurut perkiraan
hubungan Indonesia dengan Cina pada masa itu merupakan hubungan langsung antara
kedua negara. Atau dapat pula hubungan itu merupakan pelayaran yang lebih luas antara
Asia Barat dengan Cina. Menurut O.W. Wolter, pelayaran dagang melalui perairan
laut Cina Selatan pertama kali terjadi pada kurun waktu antara abad ke-3 dan
ke-5 tarikh Masehi. Kendatipun demikian bukti-bukti yang pasti menunjukkan
bahwa pelayaran itu mulai terjadi pada permulaan abad ke-5. Hal itu dapat
diikuti dalam uraian berikut:
a) Perjalanan Fa Hien
Fa Hien adalah seorang pendeta
agama Buddha. Ia berlayar mengarungi perairan Asia Tenggara sepulangnya dari
tempat suci agama Buddha di India. Pengalaman yang diperoleh dalam
perjalanannya itu ia catat dan kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku yang
diberi judul: "A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and
the Malay Archipelago".
Dalam catatannya ia katakan,
bahwa kapal layarnya terdampar di sebuah pulau bernama ja-ra-di (=Jawadwipa)
atau pulau Jawa. Ditambahkannya pula bahwa penduduk setempat banyak yang
menganut agama Brahma dan beberapa orang memeluk agama Buddha. Selain dari itu
banyak orang memeluk agama berhala.
b) Perjalanan Gunawarman
Gunawarman adalah seorang pendeta
Budcha. Ia mengadakan pelayaran langsung dari Indonesia ke negeri Cina. Menurut
keterangan yang bersumber kepada berita Cina, Gunawarman bertolak dari sebuah
tempat yang disebut Che-po. Nama tersebut sering diidentikkan dengan pulau Jawa.
Menurut O.W.Wolter, hubungan yang
terjadi antara Indonesia dengan Cina tidaklah selalu dalam hubungan dagang.
Tetapi juga hubungan tersebut terjadi dalam hal yang bersifat keagamaan. Hal
itu terbukti seperti dikemukakan dalam salah satu surat yang disampaikan kepada
kaisar Cina yang isinya berupa penghargaan kepadanya. Penghargaan itu berisikan
pujian karena kaisar telah berjasa dalam pengembangan agama Buddha.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan,
bahwa sebelum abad ke-5 bangsa Indonesia telah memasuki percaturan dunia
perdagangan dengan bangsa Cina di daratan Asia. Adapun barang-barang yang
diperdagangkan antara lain berupa: kemenyan, kayu cendana, kapur barus,
rempah-rempah, bermacam-macam hasil kerajinan dan binatang.
4.2 Kegiatan Belaiar 2
PROSES
PENYEBARAN PENGARUH HINDU
4.2.1 Uraian dan Contoh
Kita sudah mendengar perkataan
"Hindu". Perkataan tersebut lazim diidentikkan dengan nama India,
yaitu sebuah negara yang terletak di kawasan Asia Selatan. Pada suatu masa
kawasan Nusantara ini dipengaruhi kebudayaan India, yang lazimnya disebut
kebudayaan Hindu. Dalam pengertian Hindu itu di dalamnya termasuk pula pengaruh
agama Buddha, bahkan pada suatu ketika kedua agama itu pernah berkembang dalam
suatu bentuk yang disebut sinkretisme yakni yang disebut agama Siwa-Buddha.
Nah, sebelum berbicara terlampau jauh, marilah kita menyimak seperlunya, yaitu
bagaimana masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia itu? Berdasarkan kenyataan
pengaruh tersebut tertanam sangat kuatnya di kalangan masyarakat Indonesia.
Berbagai pendapat telah banyak
diperdebatkan tentang proses penyebaran pengaruh Hindu ke Indonesia. Dari
berbagai pendapat tersebut timbullah bermacam-macam teori, yang apabila
dikelompokkan teori tentang penyebaran pengaruh tersebut dapat dibagi dalam dua
bagian. Satu pihak berpendapat, bahwa penyebaran itu dilakukan oleh orang-orang
India. Pihak kedua beranggapan bahwa orang-orang Indonesia tidak dapat
diabaikan. Peranan aktif dalam hal ini dipegang oleh orang-orang Indonesia.
Pada kelompok pertama beberapa
sarjana mengajukan teori masing-masing.
Prof. Dr. N.J. Krom mengemukakan,
bahwa tanah Indonesia dulu pernah menjadi tempat pengungsian dan pembuangan
orang-orang India. Di India pada permulaan tarikh Masehi sering terjadi
pergolakan politik dan terjadi peperangan. Akibat kejadian itu banyak orang
India meninggalkan negerinya untuk menyelamatkan diri. Di antara mereka banyak
yang sampai di Indonesia. Selain mereka itu banyak pula tawanan perang dipaksa
meninggalkan negerinya. Mereka pun mengungsi ke Indonesia. Kedua pengungsi
tersebut kemudian menetap di pantai perairan Indonesia dan membentuk kesatuan
masyarakat tersendiri. Lama-kelamaan di tempat pemukiman itu mereka mendirikan
pusat kebudayaan Hindu. Maka lahirlah kebudayaan Hindu di Indonesia. Dari pusat
yang baru itu kebudayaan Hindu kemudian menyebar luas ke beberapa tempat di
Indonesia.
Oleh para ahli pendapat N.J. Krom
tersebut di atas dikenal dengan sebutan Teori Ksatria. Nama tersebut pada
mulanya diberikan oleh FDK Bosch.
Ada kelemahan teori N.J. Krom, seperti terurai di atas,
yaitu:
Dalam kenyataannya beberapa bukti
menunjukkan, bahwa yang digunakan dalam prasasti-prasasti Sanskerta. Hal ini
bertentangan dengan bahasa yang digunakan oleh orang kebanyakan di India.
Mereka memakai bahasa Prakerta, bukan bahasa Sanskerta. Sedangkan bahasa
Sanskerta hanya diketahui oleh golongan pendeta atau brahmana. Bahasa pengungsi
dan bahasa orang-orang buangan juga bahasa Prakerta. Itulah sebabnya teori N.J.
Krom dianggap kurang sesuai dengan bukti-bukti dalam prasasti.
Sehubungan dengan proses
penyebaran pengaruh India itu, N.J. Krom mengajukan teori lain, yang kemudian
dikenal dengan nama teori Waisya. Teori ini mengemukakan, bahwa golongan
pedagang India (=Waisya) sangat berperan dalam proses penyebaran kebudayaan
petualangan dan pelayaran, hingga mampu menjangkau perairan dan pantai-pantai di
Indonesia. Sebagian kelompok pedagang, mereka banyak bergaul dan bercampur
dengan masyarakat setempat. Bahkan mereka banyak yang melakukan perkawinan,
sehingga lama-kelamaan muncullah masyarakat campuran yang bersifat
Indonesia-Hindu. Berpangkal dari masyarakat ini, kebudayaan yang mereka miliki
dapat menyebar lebih luas lagi, baik terhadap orang-orang secara individual
maupun terhadap masyarakat lainnya.
Teori Waisya ini pun bukan tidak
mengandung kelemahan, walaupun pendapat tersebut mendapat dukungan dari Prof.
Dr. Ng. Purbacaraka. Dalam tulisannya Prof. Purbacaraka mengemukakan, bahwa
para pedagang yang diutarakan oleh Krom itu berdatangan dari daerah Tamil dan
Pallawa. Kedua tempat tersebut di India Selatan. Selain bahasa Prasasti ditulis
dalam huruf Pallawa, juga dalam pergaulan dunia perdagangan di tanah ini banyak
dikenal istilah yang berasal dari bahasa Tamil. Istilah-istilah itu antara
lain: tunai, kedai, nilai, materai dan kodi. Menurut Purbacaraka, kata-kata
tersebut dimasukkan oleh para pedagang yang berbahasa Tamil. Mereka adalah
orang-orang Tamil yang berdagang dengan orang-orang Indonesia.
Adapun kelemahan teori Waisya
seperti dikemukakan para ahli, ialah bahwa para pedagang dari India jangkauan
perjalanannya terbatas, mereka hanya sampai di daerah pantai, sehingga daerah
persebaran pengaruh India hanya sampai di daerah pantai. Akan tetapi kenyataan
menunjukkan lain, daerah tempat peninggalan berupa prasasti dan candi serta
peninggalan-peninggalan Hindu lainnya kebanyakan justru terdapat di daerah
pedalaman, bahkan di daerah pegunungan sekalipun. Hal inilah yang, tidak memungkinkan
kemampuan orang-orang pedagang untuk menyebarluaskan kebudayaan Hindu, karena
kemampuan mereka terbatas.
Kemudian seorang sarjana India,
R.C. Majumdar, dalam kelompok ini mengernukakan pendapatnya, bahwa penyebar
pengaruh Hindu ke Indonesia itu ialah orang-orang dari golongan (kasta)
Ksatria. Golongan (kasta) ini terdiri dari raja-raja dan kaum bangsawan. Karena
para penyebarnya dari golongan tersebut, maka para ahli menyebut teori ini
teori Ksatria.
Menurut pendapat tersebut, para
raja dan bangsawan India suka sekali mengembara dan menaklukkan daerah-daerah
di luar India. Mereka sampai pula di Indonesia untuk melakukan kegiatan yang
serupa. Di Indonesia mereka menanamkan kekuasaannya di beberapa daerah.
Dalam batu prasasti banyak disebutkan tentang
nama-nama raja dalam bahasa atau nama Sanskerta. Nama-nama tersebut antara
lain: Mulawarman, Purnawarman, Sanjaya, Sailendra dan sebagainya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa raja-raja yang berkuasa di Indonesia berasal dari India.
Demikianlah pandangan teori Ksatria.
Teori tersebut di atas ini pun
tidak luput dari kelemahan. Para kritikan terhadap paham/teori tersebut mengemukakan
keberatan. Mereka mengatakan bahwa sampai sekarang tidak ditemukan bukti yang
menyatakan bahwa bangsa Indonesia pernah dijajah oleh India. Tambahan pula
apabila peengaruh India masuk di Indonesia yang disebabkan karena penaklukan,
maka pertumbuhan budayanya tentu akan berlainan dengan peninggalan-peninggalan
yang ada. Di Indonesia pengaruh kebudayaan India tidak menonjol dan tidak
membendung perkembangan budaya asli. Sebaliknya dari beberapa kenyataan
menunjukkan, bahwa unsur-unsur kebudayaan daerah sangat mengesankan walaupun
dalam bentuk perpaduan yang kemudian dinamakan kebudayaan Indonesia-Hindu.
Dalam pada itu J.C. Van Leur
berpendapat, bahwa golongan Brahmanalah yang mempunyai peranan dalam proses penyebaran
itu. Teori beliau disebut sebagai teori Brahmana. Menurut anggapannya kaum
Brahmana India, yang mempunyai monopoli religius, telah datang ke Indonesia
atas undangan para datu atau kepala suku. Para datu ingin memperoleh kedudukan
yang sejajar dengan para raja India. Mereka ingin mendapat pengakuan dari
raja-raja India. Maka untuk mencapai keinginan demikian itu, para kepala suku
menganggap haruslah diadakan penobatan atas dirinya oleh kaum Brahmana
tersebut.
Selain dari itu orang Indonesia
mengetahui dari berbagai informasi, bahwa kaum Brahmana selain menguasai
seluk-beluk keagamaan, juga mengetahui dan mahir akan organisasi pemerintahan
(kerajaan). Oleh karena itulah para datu merasa perlu mengundang dan
mendatangkan mereka dari negeri itu.
Teori Brahmana seperti
dikemukakan di atas dalam kenyataannya memang banyak mengandung kecocokan.
Misalnya dapat kita lihat, bahasa yang digunakan dalam prasasti pada umumnya
ditulis dalam bahasa Sanskerta. Bahasa ini memang dapat dikatakan milik kaum
Brahmana, karena hanya merekalah yang menguasai bahasa tersebut. Di luar
golongan ini, pada umumnya hanya menguasai bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu
bahasa Prakerta. (Selain ciari itu dalam prasasti seringkali disebut tentang
pemberian hadiah terhadapnya sebagai tanda jasa dari raja). Hadiah tersebut
tentu sebagai imbalan atas peranan Brahmana dalam upacara penobatan raja serta
penasihat raja dalam menjalankan tata pemerintahan yang disesuaikan dengan
sistem kerajaan. Dalam pembangunan tempat peribadatan seperti pendirian candi,
stupa, lingga dan lain-lain, peranan Brahmana tidak kurang penting artinya.
Mereka dapat memberikan tuntunan dan petunjuk kepada para seniman Indonesia
berdasarkan buku pedoman membuat candi dan arca yang disebut buku Cilpasastra.
Tanpa petunjuknya para seniman Indonesia tentu akan mendapat kesulitan dalam
menelaah isi buku, karena buku itu ditulis dalam bahasa Sanskerta.
Pada kelompok kedua dalam uraian
ini akan ditampilkan dua orang sejarahwan, masing-masing adalah:
Pertama, George Coedes seorang sejarahwan
Perancis. Dalam karangannya beliau mengemukakan teori, bahwa setelah terjadi
jalinan dagang antara Indonesia dengan India banyak pedagang Indanesia melawat
ke India. Mereka mendatangi tempat-tempat penting baik di India Selatan maupun
di India Utara. Tempat-tempat itu ialah pusat-pusat pengetahuan dan kebudayaan
India. Sekembalinya dari India kemudian mereka mengajar dan menyebarkan ilmunya
itu kepada orang Indonesia di negeri ini.
Kedua, Dr. F.D.K. Bosch seorang
sejarahwan Belanda penganut Teori G. Coedes. Dalam karangannya sarjana ini
memperkuat pendapat Coedes tersebut di atas. Dikemukakannya, bahwa pada suatu
ketika banyak pemuda Indonesia menuntut ilmu di India, terutama di pusat kebudayaan
tadi, yaitu Nalanda di Benggala. Mereka di tempat tersebut mempelajari
pengetahuan agama dan yang bertalian dengannya, antara lain belajar membuat
arca dan juga mempelajari cara mendirikan candi.
Setelah bertahun-tahun lamanya
berada di India, para pemuda itu kembali ke Indonesia. Tentunya selain mereka
telah menjadi lulusan perguruan di Nalanda, juga mereka memiliki pengetahuan
sebagai seniman-seniman yang beraliran India. Di Indonesia pengalaman dan
pengetahuan itu mereka sebarkan kepada kaumnya. Mereka di samping mengajar juga
membangun tempat-tempat peribadatan. Itulah sebabnya berbagai seni bangunan dan
seni arca di Indonesia banyak mengandung berbagai seni atau unsur seni India.
Hal tersebut dapat dilihat dalam bangunan candi dan buku-buku sastra yang
termasuk golongan tua.
Bosch mengakui pula, bahwa peranan
kaum Brahmana dalam proses penyebaran pengaruh India itu cukup besar. Akan
tetapi suatu hal yang tidak dapat dikecilkan arti peranannya bagi orang-orang
Indonesia ialah keaktifan dalam usaha menyebarluaskan unsur-unsur pengetahuan
yang baru itu. Karena peranannya yang demikian itu, baik teori Coedes maupun
Bosch itu dipandang berlawanan dengan teori-teori terdahulu. Maka dari teori
Bosch yang sangat menarik itu dinamakan Teori Arus Balik.
4.3 Kegiatan Belajar 3
PERBEDAAN
BUDDHISME DAN HINDUISME
4.3.1 Uraian dan Contoh
Dari bukti-bukti sejarah dapat
diketahui, bahwa pengaruh India yang masuk ke Indonesia tidak berasal dari satu
tempat di India, akan tetapi berasal dari berbagai tempat. Pada uraian di atas
telah disebutkan beberapa tempat yang dimaksudkan, seperti: Pallawa, Tamil,
Benggala, Nalanda dan lain-ain. Sehubungan dengan hal tersebut aliran agama
yang memasuki Nusantara ini pun tidak hanya satu macam saja. Yang jelas di
dalam pengaruh India itu terdapat agama Buddha, pengaruhnya disebut Buddhisme.
Ada pula agama Hindu, pengaruhnya disebut Hinduisme. Kadang-kadang dari
keduanya itu kita menyebut Hinduisme. Dalam hal yang dua itu pula, tidak
diketahui dengan pasti pengaruh yang manakah terdahulu datang di Indonesia.
Namun demikian keduanya telah dikenal di negeri ini pada masa permulaan abad
Masehi.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah
itu, agama yang paling banyak dianut, mula-mula agama Hindu. Walaupun mungkin
pada waktu yang bersamaan agama Buddha pun telah masuk di Indonesia. Akan
tetapi pada waktu itu agama Buddha belum berkembang. Bukti-bukti tersebut dapat
diungkapkan, bahwa raja-raja terdahulu yang berkuasa di kerajaan Kutai dan
Tarumanegara ialah pemeluk agama Hindu.
Dalam perkembangan sejarahnya,
kedua agama tersebut di atas terus mengembangkan sayapnya secara bergantian.
Sesuai dengan penampilan para penguasa kerajaan, kedudukan agama pun saling
bergantian menjadi agama yang paling penting dalam negara. Perkembangan agama
yang saling bergantian itu tidak menunjukkan pertentangan yang rawan di bumi
Indonesia. Bahkan pada perkembangan lebih lanjut, pada abad ke-13 kedua agama
itu pernah berkembang menjadi satu aliran kepercayaan dalam bentuk sinkretisme,
yaitu sink.retisme agama pada masa pemerintahan raja Kertanegara dari Singasari
dan raja Adityawarman dari kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat.
Dari uraian tersebut di atas
dapat dikemukakan, bahwa dengan masuknya pengaruh India ke Indonesia, maka kebudayaan
bangsa Indonesia telah mengalami suatu perubahan besar. Perubahan tersebut
tidak saja hanya mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, akan
tetap, juga menyebabkan timbulnya perubahan dalam susunan atau tata masyarakat
baru. Selain dari itu perubahan terjadi juga dalam alam pikiran, penghidupan
dan adat kebiasaan, yang secara keseluruhan terjadi perubahan dalam bidang
kebudayaan.
Untuk mengetahui corak dan sifat
kebudayaan Indonesia yang berkembang karena pengaruh kedua agama itu, maka ada
baiknya kita lihat sepintas kilas gambaran tentang perbedaan antara agama
Buddha dan agama Hindu.
a. Agama Buddha
Istilah Buddha semula berarti
sebutan terhadap seseorang yang telah memperoleh penerangan agung, yaitu orang
yang telah mendapat wahyu. Ia telah menyadari akan arti hidup dan ia telah
memperoleh jalan untuk melepaskan diri dari hukum karma.
Dalam kepercayaan sebelumnya
dinyatakan, bahwa hidip itu berlangsung berulang kali. Setelah seseorang
meninggal, ia akan hidup kembali dalam wujud lain. Wujud itu ditentukan oleh
sifat dan status serta perbuatan pada masa sebelumnya yang disebut karma. Hukum
karma itu karenanya berwujud lain sebagai siksaan yang disebut samsara. Maka
setiap orang dalam hidupnya berusaha menghindarkan diri dari samsara. Ia
berusaha melepaskan diri dari hukum karma, agar ia menjadi sempurna. Dengan
demikian ia tidak lagi akan dilahirkan lagi ke dunia yang fana ini, karena ia
telah lepas dari samsara. Artinya ia telah mencapai nirwana atau surga.
Orang yang telah mendapatkan
wahyu tersebut, ialah Sidharta Gautama, putera raja Sudhodana dari Kapilawastu.
Wahyu tersebut diperolehnya setelah Sidharta melakukan samadi (bertapa) di
bawah pohon bodhi. Maka sejak itulah Sidharta menjadi Sang Buddha. Sebagai sang
Buddha ia sering mengajarkan ajarannya yang berupa wahyu tadi kepada para
pengikutnya. Ajarannya berpokok kepada dua hal yang disebut Aryasatyani dan
Pratityasamutpado. Kedua hal pokok tersebut merupakan jalan untuk mencapai
nirwana.
Adapun Aryasatyani yang berarti
kebenaran utama itu berisikan empat masalah pokok, yaitu:
1)
Hidup itu sengsara (menderita)
2) Penderitaan
itu disebabkan orang memiliki kehausan akan hidup yang disebut Tresna.
3)
Penderitaan dapat dilenyapkan dengan jalan
menghilangkan kehausan itu (Tresna)
4)
Tresna dapat dihilangkan pula dengan jalan menempuh
jalan yang benar. Jalan tersebut dinamakan astawidha (The eight paths).
Astawidha ialah:
a.
pemandangan atau ajaran yang benar
b.
niat atau sikap yang benar
c.
perkataan yang benar
d.
tingkah laku yang benar
e.
penghidupan atau mata pencaharian yang benar
f.
usaha yang benar
g.
perhatian yang benar
h.
samadi yang benar.
Adapun yang disebut
Pratityasamutpada ialah rantai sebab akibat, yang terdiri dari 12 hal
berangkai. Masing-masing hal merupakan akibat dari hal terdahulu. Apabila semua
hal yang berantai itu telah dapat ditiadakan atau dilenyapkan, maka seseorang
telah mencapai suatu tingkatan kesempurnaan yang disebut Arhat. Seseorang
dikatakan telah mencapai Arhat berarti ia telah mencapai nirwana. Ia tidak akan
dilahirkan kembali dan telah lepas dari samsara.
Dalam perkembangan di Indonesia
agama Buddha berkernbang dalam dua mazhab. Masing-masing dinamakan mazhab Hinayana,
yang berarti kendaraan kecil. Para anggota agama Buddha disebut sangha.
Para pengikut agama Buddha paham
kendaraan kecil ini hanya terdiri para bhiksu atau bhiksumi. Mengingat
keanggotaan yang terbatas itulah mazhab kendaraan kecil bernama demikian.
Mazhab ini sering disebut dengan nama lain, yaitu Nirwanayana. Mazhab kedua
disebut Mahayana. Keanggotaannya lebih besar jumlahnya. Aliran ini tidak lagi
membatasi keanggotaan seperti pada aliran Hinayana, akan tetapi seluruh pemeluk
agama Buddha termasuk sebagai sangha. Cita-citanya tidak lagi hanya untuk
mengecap kenikmatan bagi kelompok tertentu, melainkan untuk semua pemeluk agama
tersebut. Siapa pun dapat melepaskan diri dari samsara. Maka karena
keanggotaamya yang demikian itu mazhab ini disebut pula kendaraan besar.
Perbedaan lain yang perlu
diketahui antara lain aliran (mazhab) tersebut di atas dalam hal pendewaan.
Mazhab Hinayana menganggap bahwa para Buddha yang dipuja sebagai dewa itu
jumlahnya terbatas, sedangkan pada mazhab Mahayana lebih besar. Baik para
Buddha maupun para Bodhisatwa, yaitu calon Buddha, dipuja juga sebagai dewa.
b. Agama Hindu
Berlainan dengan agama Buddha,
agama Hindu sebenarnya berpangkal pada alam pikiran yang telah berakar
sebelumnya. Jauh sebelum agama Buddha lahir, telah berkembang alam pikiran yang
bersumber kepada kitab Weda, Brahmana, dan Upanishad. Pada masa agama Buddha berkembang,
atau pikiran yang bersumber kepada kitab-kitab tersebut mengalami masa suram,
tetapi hidup terus (survive) berdampingan dengan agama Budha.
Pada saat agama Buddha mulai
menular, alam pikiran tadi mulai mendesaknya mempengaruhi para pemeluknya.
Pikiran-pikiran yang berdasarkan filsafat Weda, Brahmana dan Upanishad yang
abstrak diwujudkan menjadi suatu sistem pemujaan yang bersifat konkret, yaitu
pemujaan terhadap para dewa. Para dewa diwujudkan dalam bentuk patung, yaitu
patung perwujudan yang biasanya digambarkan sebagai raja atau pertapa (Stutluheim,
Sejarah Kebudayaan Indonesia, jilid I, Djakarta, 1953, hal. 79). Pemujaan
terhadap patung ini menjadi suatu corak khusus. Agama yang demikian ini disebut
agama Hindu.
Agama Hindu pada dasarnya terdiri
dari campuran berbagai agama asli, yaitu Weda, Upanishad, Brahmana dan bahkan
agama Buddha pun mempengaruhinya. Dalam agama Hindu dikenal tiga dewa utama
yang disebut Trimurti. Masing-masing ialah dewa Brahma sebagai pencipta alam
semesta. Sebagai pencipta dewa Brahma berusaha mengatur segala peristiwa di
dunia. Kemudian dikenal dewa Wishnu. Wishnu dewa yang pengasih, ia sering
bertindak sebagai penolong atau pembebas dari segala malapetaka. Dalam
pandangan para pengamatnya, dewa Wishnu sering menjelma sebagai makhluk yang
melepaskan dunia dari segala kejahatan dan mara bahaya. Maka dari itu dewa
Wishnu dianggap sebagai salah satu dewa yang terpenting. Dalam penjelmaannya ia
sering digambarkan antara lain sebagai Rama dalam cerita Ramayana dan sebagai
Kresna dalam cerita Mahabarata.
Dewa yang ketiga dalam Trimurti
ialah Siwa. Ia dianggap sebagai dewa yang paling dahsyat karena tugasnya, yaitu
sebagai dewa yang menguasai kematian dan pembinasa. Pada umumnya Siwa dianggap
sebagai dewa tertinggi. Dalam status dernikian ia diberi nma Mahadewa, ialah
yang dianggap paling berkuasa dan ditakuti sehingga menyebabkan banyak orang
meminta dan memohon kemurahan padanya. Walaupun demikian, Siwa banyak melakukan
perbuatan yang menyebabkan banyak orang berterima kasih kepadanya. Siwa sering
dilambangkan dalam bentuk lingga, disatukan dengan Yoni, lambang saktinya
(istrinya), yakni dewi Durga sebagai dewi kematian.
4.3.2 Latihan 3
1)
Coba Anda diskusikan dengan teman belajar Anda:
a.
Apakah Hinduisme itu?
b.
Apakah perbedaan antara istilah Hindu dan India?
2) Di
dalam penerapan pengaruh Hindu di Indonesia berbeda dengan di negeri asalnya.
Mengapa demikian?
3)
Apakah perbedaan antara Hindunisasi dengan Indianisasi?
4) Mengapa
antara agama Buddha dan Hindu di Indonesia dapat bersatu? Kapan hal itu terjadi?
5) Coba
Anda kemukakan perubahan apa yang telah terjadi di kawasan kita setelah
pengaruh Hinda masuk? Bagaimana dan apa kemungkinan-kemungkinannya apabila hal
tersebut terjadi?
4.4 Kegiatan Belajar 4
BUKTI-BUKTI
PENGARUH HINDU
4.4.1 Uraian dan Contoh
Untuk mengetahui dan membenarkan
ada atau tidak ada pengaruh Hindu di Indonesia akan dapat dilihat dari berbagai
bukti. Bukti-bukti itu terutama berupa Patung, Prasasti, Bangunan, dan
Kesusastraan (Sastra).
a . Patung atau Area
Berdasarkan hasil penelitian para
ahli, di desa Sempaga, di Sulawesi Selatan terdapat peninggalan tertua berupa
sebuah patung. Patung tersebut berupa patung Buddha. Para ahli beranggapan
bahwa patung Buddha di Sulawesi Selatan itu merupakan patung tertua yang pernah
didapatkan di Indonesia.
Gambar sebuah Patung Buddha
Menurut para ahli pula, patung
Buddha dari Sulawesi Selatan itu berasal dari sekitar abad ke-3 Masehi.
Ketentuan yang lebih pasti kapan patung tersebut dibuat tidak diketahui.
Mengapa pula patung itu ada di tempat tersebut, tidak diketahui. Paling tidak
daerah itu telah kena pengaruh Hindu, khususnya pengaruh agama Buddha. Patung
itu dipergunakan oleh masyarakat sebagai benda persembahan untuk bangunan suci
agama Buddha.
Area atau patung yang sejenis
dengan area tersebut di atas ditemukan pula di daerah Jember (Jawa Timur) dan
Bukit Siguntang (Sumatera Selatan). Bahkan di daerah Kalimantan Timur, tepatnya
di daerah Kutai ditemukan pula sejumlah area Buddha.
b. Prasasti
Pengaruh Hindu telah menyebar di
sebagian besar kepulauan ini. Selain patung-patung seperti disebutkan, pada
uraian di atas, banyak didapatkan pertulisan pada batu. Lazimnya pertulisan
pada batu itu disebut prasasti.
Prasasti pada layaknya dibuat atas
perintah raja yang sedang berkuasa. Banyak prasasti dibuat di Indonesia yang
isinya sesuai dengatt keperluannya, yaitu untuk apa prasasti itu ditulis atau
dipahat. Sesuai pula dengan di tempat mana prasasti itu berada atau ditemukan,
maka lahirlah nama-nama prasasti. Kalau tidak demikian, nama prasasti diberikan
pula sesuai dengan nama raja seperti termuat dalam prasasti yang bersangkutan.
Sebagai contoh kita mengenal nama
prasasti Ciaruteun. Nama tersebut menunjukkan nama tempat atau daerah yaitu
Ciaruteun tempat berdiri batu prasasti yang dimaksudkan. Selain bernama
Ciaruteun disebut pula dengan nama prasasti Purnawarman. Nama yang disebut
belakangan, yakni Purnawarman ialah nama raja yang disebut dalam prasasti.
Dialah yang memerintahkan agar prasasti Ciaruteun itu dibuat.
Prasasti-prasasti tertua di
Indonesia ditulis dengan aksara atau huruf Pallawa. Nama Pallawa adalah sebuah
kerajaan di India Selatan. Bahasanya ialah bahasa Sanskerta. Bahasa tersebut
lazim dipakai sebagai bahasa buku-buku suci (Weda, Upanishad, dan lain-lain) di
India. Dari kedua hal tersebut jelas menunjukkan bahwa dalam hal baca-tulis
pengaruh India jelas tersebar sampai di Indonesia.
Prasasti yang tergolong tua
dengan pemakaian huruf dan bahasa seperti tersebut di atas antara lain:
prasasti Kuta, atau prasasti Mulawarman di Kalimantan Timur (dari abad ke-4);
prasasti Ciaruteun atau prasasti Purnawarman (dari abad ke-5) di Jawa Barat prasasti
Canggal atau prasasti Sanjaya (dari abad ke-8) di Jawa Tengah dan prassasti
Dinaya atau prasasti Gajayam (dari abad ke-8) di Jawa Timur. Sedangkan prasasti
Kedukan Bukit atau prasasti Sriwijaya (dari abad ke-7) di daerah Jambi.
Prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno.
Masih banyak prasasti lainnya
yang ditulis kemudian tersebar, di berbagai tempat di Jawa dan Sumatera. Huruf
dan bahasanya berbeda ada yang ditulis dalam huruf Kawi (Jawa Kuno) atau Sunda
Kuno dan bahasanya menjadi bahasa Jawa Kuno, Sunda Kuno.
Selain huruf yang telah
diutarakan, di Jawa Tengah terdapat pula prasasti yang ditulis dalam huruf Dewa
Zagin (dari India Utara). Seperti kita kenal prasasti Kalasan di Jawa Tengah.
c. Bangunan
Pengaruh Hindu meninggalkan
bukti-bukti berupa bangunan kuno. Bangunan-bangunan itu umumnya berupa candi.
Ada yang masih berdiri dengan utuh, ada pula bangunan berupa bekas-bekas yang
batunya berserakan belum disusun kembali.
Salah sebuah bangunan tertua yang
berupa candi, menurut Prof. Dr. N.J. Krom terdapat di daerah pegunungan Dieng
di Jawa Tengah bagian Utara. Sesuai dengan jumlah candi yang didapatkan, daerah
tersebut sering disebut kompleks percandian Dieng. Menurut pendapatnya, pada
zaman berkembangnya pengaruh Hindu daerah Dieng didominasi menjadi pusat
kegiatan orang-orang yang beragama Hindu pemuja Siwa. Hal itu dikatakan dengm
kenyataan, bahwa bangunan-bangunan candi yang terdapat di dataran tinggi
tersebut seluruhnya bersifat agama Siwa.
Berdasarkan prasasti yang
didapatkan di kompleks percandian Dieng, prasasti tertua berangka tahun 809
Masehi, maka kemungkinan besar daerah percandian tersebut telah berkembang
sejak permulaan abad ke-9, akan tetapi nama-nama candi yang sekarang dikenal
menurut Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto baru diberikan kemudian, mungkin
sekali pada abad ke-18. Nama-nama itu dikenal masing-masing ialah: candi Bima,
candi Puntadewa, candi Arjuna, candi Semar, candi Nalagareng, candi Gatotkaca
dan lain-lain. Dari nama-nama tersebut kita dapat memahami, bahwa bangunan
candi yang terdapat di kompleks ini ialah bangunan Suci yang menghormati agama
Hindu. Nama-nama candi diambil dari buku Baratayuda atau Mahabarata.
Selain bangunan candi yang
bersifat Hindu di Jawa Tengah bagian Selatan berkembang bangunan candi yang
bersifat agama Buddha. Bangunan-bangunan suci didirikan untuk pempjaan atau
menghormati kebesaran agama Buddha. Dari bangunan yang bersifat Buddhistis dan
termashur ialah candi Borobudur. Candi ini didirikan pada kwartal pertama abad
ke-9, pada masa memuncaknya kekuasaan kelmqrga Sailendra. Raja-raja Sailendra
beragama Buddha. Peninggalan lainnya berupa candi Mendut, Pawon, Kalasan,
Sajiwan, Sewu dan lain-lain. Semuanya terletak di sekitar kota Yogyakarta
sekarang.
Masih banyak peninggalan bangunan
lainnya. Semuanya tersebar di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera bagian
Selatan. Di Jawa Timur berdiri candi Kidal berasal dari abad ke-13. Candi ini
bersifat agama Siwa (Siwaistis). Candi Jago yang bersifat dualistis (yaitu
Buddhistis dan Wishnuistis) dibangun pada abad ke-13 juga. Kemudian contoh lain
yang penting dari Jawa Timur ialah candi Singhasari. Candi ini bersifat
Siwa-Buddha sesuai dengan nama raja yang dimakamkan di dalamnya, yaitu raja
Kertanepara. Pada uraian terdahulu telah diungkapkan, bahwa agama Hindu dan
Buddha di Indonesia pernah berkembang menjadi satu dalam bentuk sinkretisme.
Maka sinkretisme agama-agama tersebut yang dianut oleh mendiang Kertanegara
diabadikan dalam candi Singhasari ini.
Tidak dapat dikesampingkan
bukti-bukti bangunan lainnya di Jawa Timur. Selain candi Panataran dan candi
Bajang Ratu, candi Brahu, candi Tikus, candi Sukuh, candi Cela, masih terdapat
bangunan kuno berupa pemandian seperti Watu Gede dan Jalatundra di lereng
gunupg Penanggungan .
Di Jawa Barat walaupun sangat
terbatas peninggalan berupa pengaruh Hindu terdapat candi Cangkuang di Leles.
Di Gunung Sagarahyang (Kuningan) peninggalan berupa Lingga dan di bukit
Kebuyutan daerah Indihyang juga terdapat peninggalan berupa Lingga dan Yoni.
Kedua peninggalan berupa pengaruh Hindu pemuja Siwa.
Di Sumatera Selatan banyak
ditinggalkan bangunan candi yang bersifat Buddhistis. Hal tersebut dibuktikan dengan
adanya peninggalan-peninggalan bangunan Buddhistis, seperti candi Muara Takus
dekat Pekan Baru dan candi Biaro Bahal dekat Padangsidempuan.
Di pulau Bali sampai sekarang
berkembang agama Hindu-Bali atau disebut pula Hindu-Dharma. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa sebenarnya pengaruh Hindu yang mulai tertanam di Indonesia
sejak mana Mulawarman, bahkan sebelumnya, masih hidup terus (survive) dan
lestari di pulau Bali.
Dalam bidang seni sastra, banyak
ceritera dari berbagai bentuk. Dalam hal tersebut kesusastraan zaman pengaruh
Hindu mengenal dua bentuk atau jenis karangan, yaitu karangan yang berbentuk
puisi disebut tembang dan karangan yang berbentuk prosa disebut gancaran. Kedua
jenis atau bentuk kesusastraan tersebut sudah barang tentu memperkaya dan
memperindah cerita-cerita lisan yang telah hidup sebelumnya di Indonesia.
Di kalangan istana kesusastraan
tersebut di atas sangat digemari. Dalam perkembangannya yang subur itu lahirlah
apa yang dalam sastra kuno disebut kakawin, yaitu Tembang Jawa Kuno. Perkataan
kakawin berasal dari bahasa Sanskerta yaitu kawya artinya pujanpga. Sastra Kuna
Kakawin itu ditulis oleh para pujangga Indonesia di atas daun lontar. Sampai
sekarang kepandaian menulis pada daun lontar masih merupakan tradisi bagi orang
Bali.
Beberapa contoh kakawin yang terkenal di zaman
pengaruh Hindu antara lain:
1. Arjunawiwaha,
karangan Mpu Kanwa, ditulis kira-kira pada abad ke‑11, yaitu pada masa
pemerintahan raja Airlangga, (1035 - 1047).
2. Bharatayuddia,
karangan Mpu Sedah dan Panuluh, ditulis pada abad ke-12, yaitu masa
pemerintahan raja Jayabhaya (1135 - 1137).
3. Nagara
Kertagama, karangan Mpu Prapanca, ditulis pada abad 14 yaitu pad-a masa
pemerintahan raja Hayam Wuruk (1334 - 1374).
Masih banyak lagi hasil-hasil
kebudayaan sebagai bukti adanya pengaruh India. Semuanya dapat dikatakan telah
mencapai mutu tinggi berkat perpaduan antara kebudayaan Incbnesia asli dengan
pengaruh Hindu tersebut. Dalam hal ini dapat ditambahkan antara lain, seni
wayang yang mengambil babon ceritera dari buku pahlawan (epos) Mahabarata dan
Ramayana India, seni gamelan, seni keris serta senjata-senjata lainnya. Selain
dari itu dalam seni hias, seni pakaian, perhiasan, seni tari, seni ukir, seni
pahat, dan lain-lain banyak dipengaruhi oleh seni Hindu.
4.4.2 Latihan 4
Coba Anda diskusikan dengan teman
kelompok belajar Anda. Apabila tidak mendapat keputusan dalam pembicaraan, Anda
dapat tanyakan kepada tutor Anda.
1) Hal-hal
apa saja yang dapat memberi petunjuk tentang adanya pengaruh Hindu di Indonesia?
2) Petunjuk
apa yang menyatakan paling dahulu antara pengaruh Buddha dan Hindu adanya di
Indonesia?
3) Manakah
yang paling tua di antara dua prasasti, yaitu prasasti Kutai dan Taruma? Dari
mana Anda mengetahui hal itu?
4) Bangunan
candi di daerah Dieng didirikan oleh orang-orang yang memeluk agama Siun.
Mengapa demikian?
5) Candi
Singhasari di Jawa Timur didirikan untuk pemakaman raja Kertanagara. Melihat
keagamaannya candi itu bersifat Siwa-Buddha, yaitu sinkretisme antara agama
Siwa dan agama Buddha.
a. Apakah
latar belakangiya demikian?
b. Apakah
pula latar belakang terjadinya sinkretisme itu?
4.5 Kegiatan Belaiar 5
PERANAN
BANGSA INDONESIA DALAM MENERIMA PENGARUH HINDU
4.5.1 Uraian dan Contoh
Pada pembicaraan yang lalu telah
diutarakan hal-hal yang berhubungan dengan proses penyebaran pengaruh Hindu ke
Indonesia. Selain para pedagang juga kaum ulama atau brahmana turut aktif di
dalam kegiatan itu.
Namun demikian proses kegiatan tersebut
tidak dapat hanya dipandang dari kaca mata sebelah, yaitu pendapat yang
beranggapan bahwa orang-orang India saja yang giat melakukan penyebaran
tersebut. Akan tetapi peranan orang Indonesia juga perlu ditonjolkan. Bahkan
pada suatu ketika partisipasi orang-orang Indonesia dalam proses
"penghinduan" itu dapat dibuktikan kebenarannya. Maka dari itu
peranan tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dua orang sarjana Barat, yaitu
George Coedes dan FDK Bosch telah disinggung-singgung sebagai pencetus dan
penyebar anggapan tersebut. Sudah barang tentu anggapan itu bukan tidak
mempunyai dasar yang kuat. Dalam penataan teorinya, Bosch mempertegas
pendapatnya dengan mengemukakan tulisan kuno yang tersurat pada lempengan
tembaga. Lempengan tersebut lazim disebut Piagam Nalanda.
Dalam prasasti atau piagam
Nalanda yang berasal dari abad ke-9, dikemukakan tentang hadiah tanah yang
diberikan oleh raja Dewapaladewa. Raja tersebut berasal dari keluarga Pala di
Benggala. Hadiah tanah itu diberikan kepada raja Sumatera untuk keperluan
pendirian sebuah bangunan berupa asrama atau wihara bagi pemondokan para
mahasiswa. Raja Suwarnadwipa yang disebutkan dalam prasasti tersebut bernama
Balaputra Dewa. Dialah yang banyak mengirimkan para peziarah ke Nalanda untuk
mempelajari agama dan pengetahuan lainnya.
Berikut ini disajikan terjemahan
prasasti Nalanda dalam bahasa Inggris sebagai bahan pemikiran:
"We being requested by the
illustrations Maharaja Balaputradewa, the king of Suwarnadwipa through a
messenger I have caused to be built a monastery at Nalanda granted by this
edict toward the income for the blessed Lord Buddha, the abode of all the
leading virtues like the pradnyaparamita, for the offerings, oblations,
shelter, garments, alms, beds, the requisites of the sick like medicines, ect.,
of the four quarters (comprising) the Bodhisatwas well versed in the tantras,
and eight great holy patronages (i.e. the aryagupalas), for writing the
dharmaratnas or Buddhist teats and for the up-keep and repair or the monastery
(when) damaged” (Prof. Dr. Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya, dan
Suwarnabhumi, Jakarta: Idayu, 1981, hal. 182 - 183).
Kutipan di atas hanya sebagian
saja dari prasasti seutuhnya. Bagian tersebut menggambarkan latar belakang
pendirian wihara dan siapa yang meminta wihara itu didirikan dan sejarah mana
keperluannya. Walaupun tidak ditegaskan untuk para pengunjung atau para
peziarah dari mana, akan tetapi anggapan bahwa biara itu diperuntukkan bagi
para mahasiswa/penuntut ilmu yang datang dari Suwarnadwipa (Indonesia) telah
dikemukakan oleh Prof. Muh Yamin. Dalam hal tersebut Yamin mengemukakan, bahwa
untuk kepentingan wakaf kepada biara besar di Nalanda, maka dikirimkan ke sana
seorang utusan (= duta besar) bernama Ralawarman. Dengan ungkapan tersebut
dapat diartikan tentang keaktifan bangsa Indonesia (raja Balaputra) dalam hal
yang berhubungan dengan kebiasaan. Hal tersebut berarti pula bahwa
Balaputradewa telah memperhatikan akan perkembangan dan kemajuan agama, yaitu
dengan jalan mengikatkan tali persahabatan dengan negara lain, yang pada waktu
itu. Nalanda merupakan pusat ilmu pengetahuan termashur di daratan Asia.
Dalam pada itu Dr. FDK. Bosch
yang namanya telah disebut-sebut pada bagian di muka, menerbitkan karangannya
pada tahun 1952 dengan judul: "Local fenius en oud Javaanse kunst".
Dalam karangan itu tersembul pendapatnya mengenai peranan bangsa Indonesia dalam
proses pengembangan pengaruh Hindu di negara ini.
Dalam karangan itu Dr. Bosch
antara lain mengatakan, bahwa tidak hanya golongan Ksatria dan Waisya serta
kaum Brahmana saja yang memegang peranan dalam proses penyebaran Hindu
tersebut, akan tetapi juga ada peranan yang kuat bangsa Indonesia sendiri.
Mereka menerima unsur-unsur Hindu dengan penuh keaktifan. Sebab apabila bangsa
menolaknya, tentulah unsur-unsur pengaruh Hindu tersebut tidak dapat
berkembang.
Dikemukakan lebih jauh oleh Dr.
Bosch, dengan melihat keaktifan seperti diutarakan dalam piagam Nalanda, bangsa
Indonesia sendiri pergi ke India untuk mencari pengetahuan, maka tidaklah
mustahil merekapun turut menyokong perkembangan atau pencampuran antara
kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Hindu. Di India (Nalanda) mereka melihat
dan belajar. Mereka pelajari seluk-beluk- agama, khususnya agama Buddha.
Sekembalinya dari India lalu mereka mengajarkan dan menyebarkan ilmu keagamaan
dan pengetahuan lainnya kepada bangsa Indonesia sendiri. Cara belajar demikian
itu selama berabad-abad hingga sekarang terus dijalankan menurut kelaziman.
Bukan orang Indonesia saja, akan tetapi orang-orang Asia lainnya banyak
mengirimkan para mahasiswa ke negara-negara yang lebih maju, misalnya ke Eropa,
bahkan ke India sendiri.
Dalam salah sebuah karangan,
Prof. Dr. Slamet Mulyana, menemukakan peranan Balaputradewa raja Sriwijaya
dalam hubungan dengan prasasti
Bahan Ajar
SEJARAH
INDONESIA
Oleh
Prof. Dr.
Eddy Lion, M.Pd
Disusun dalam Rangka Peningkatan
Kualifikasi Serjana (S1) Kependidikan Bagi Guru dalam Jabatan
FKIP Universitas Palangkaraya
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2009/2010
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2009/2010
BANGSA
INDONESIA PADA ZAMAN MADYA
1 . Pengantar
Modul 3 ini merupakan kelanjutan
dari Modul 2 mengenai sejarah Indonesia. Dalam modul ini dibicarakan kehidupan
bangsa Indonesia pada zaman yang diberi nama zaman madya. Zaman madya ini sendiri
berlangsung cukup lama karena ia dimulai dari kedatangan agama Islam di
Indonesia sampai tegaknya kekuasaan kolonial Belanda. Modul ini hanya
membicarakan bagian awal dari zaman madya tersebut yaitu sejak kedatangan agama
Islam dengan abad 16. Bagian berikutnya dari zaman madya dibicarakan dalam Modul
4.
Pokok permasalahan yang akan Anda
pelajari dalam modul ini ialah awal kedatangan Islam ke Indonesia. Sedikitnya
atau kurang memadainya sumber-sumber yang sampai pada kita menyebabkan beberapa
kesulitan dalam melukiskan peristiwa sejarah tersebut. Uraian dilanjutkan
dengan pembicaraan mengenai pedagang mana yang membawa agama Islam ke
Indonesia. Selain itu juga dibicarakan mengenai proses perkembangan agama
Islam.
Jadi, disini terlihat jelas bahwa
modul ini membedakan pengertian masuknya dan pengertian perkembangan agama
Islam. Kedua pengertian ini dibahas dalam Kegiatan Belajar 1 dan oleh karenanya
tidak akan disinggung di sini. Demikian pula mengenai pengertian-pengertian
peranan bangsa Indonesia dalam penyebaran agama Islam.
Pokok permasalahan lain yang
dibicarakan dalam modul ini ialah kehidupan bangsa Indonesia setelah menjadi
pemeluk Islam. Masalah ini dibicarakan dalam topik-topik, kehidupan politik,
sosial, ekonomi, dan seni-budaya. Dalam beberapa topik bahasan dilakukan secara
singkat karena bahan mengenai topik tersebut cukup banyak dan mudah diperoleh.
2. Tujuan Instruksional Umum
Setelah membaca modul ini Anda
diharapkan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai kehidupan bangsa Indonesia
pada masa awal pengaruh Islam.
3. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah membaca modul ini Anda mmpu:
a. menjelaskan
alur hubungan dagang antara Indonesia dengan India, Asia Barat Daya, dan Cina;
b. menjelaskan
pendapat-pendapat mengenai masuknya agama Islam di Indonesia;
c. menjelaskan
proses perkembangan agama Islam di Indonesia;
d. menyebutkan
bukti-bukti yang mendukung teori tentang masuknya agama Islam di Indonesia;
e. membandingkan
kekuatan dan kelemahan teori-teori mengenai masuknya agama Islam di Indonesia;
f. menentukan
dasar pikiran yang dijadikan landasan
mengenai proses perkembangan agama Islam di Indonesia;
g. membedakan
pengertian masuknya dan perkembangan agama Islam di Indonesia;
h. mengemukakan
peran yang dimainkan bangsa Indonesia dalam proses masuknya Islam di Indonesia;
i. mengemukakan
peran yang dimainkan bangsa Indonesia dalam mengembangkan agama Islam di
Indonesia;
j. menjelaskan
pengaruh agama Islam dalam kehidupan politik bangsa Indonesia;
k.
menjelaskan pengaruh agama Islam dalam kehidupan sosial
bangsa Indonesia;
l. menyebutkan
4 golongan sosial yang ada pada masa abad 13-16 dalam masyarakat Indonesia
m. menjelaskan
hubungan antara keempat lapisan sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia;
n.
menjelaskan mengenai mobiliitas sosial yang ada dalam
masyarakat Indonesia;
o.
mengemukakan pengaruh Islam dalam kehidupan ekonomi
bangsa, Indonesia;
p. mengemukakan
pendapat sarjana Belanda mengenai pengaruh Islam terhadap ekonomi Indonesia;
q. mendiskusikan
kekuatan dan kelemahan teori sarjana Belanda mengenai pengaruh Islam terhadap,
ekonomi bangsa Indonesia;
r.
mengemukakan pengaruh Islam dalam seni bangunan di
Indonesia;
s.
mengemukakan pengaruh Islam dalam seni lukis di Indones
ia;
t.
mengemukakan pengaruh Islam terhadap seni sastra di
Indonesia.
4. Kegiatan Belalar
4.1 Kegiatan Belajar 1
MASUK
DAN PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
4.1.1 Uraian dan Contoh
Mengenai masuk dan perkembangan
Islam di Indonesia sampai saat sekarang belum sepenuhnya dapat dijelaskan para
sejarawan dengan memuaskan. Terutama penjelasan mengenai masuknya Islam di
Indonesia masih terasa sangat tidak memuaskan. Keadaan semacam memang tidak
menguntungkan tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang unik dalam suatu studi
sejarah. Kelangkaan sumber-sumber yang ada dan ketidaklengkapan informasi yang
diberikan oleh sumber yang tersedia merupakan suatu situasi yang tak dapat
dihindarkan. Dan studi sejarah yang bertimbungan dengan peristiwa kehidupan
manusia di masa lampau tidak dapat menghasilkan informasi yang dikehendaki seperti
yang terjadi pada ilmu-ilmu sosial lainnya dan ilmu-ilmu alamiah. Hakikat dari
objek studi sejarah yang demikian tidak memberikan kesempatan atau dasar bagi
pengembangan metodologi penelitian yang mempunyai kapasitas sama atau paling
tidak setara seperti metodologi ilmu-ilmu yang lain tersebut dalam menghasilkan
informasi yang diharapkan.
Oleh karenanya para sejarawan
harus bekerja dengan informasi yang tersedia, betapa pun tingkat
ketidaklengkapan informasi tersebut. Berdasarkan informasi yang tersedia itu
pula sejarawan harus dapat "mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin, serta
menerangkannya setepat mungkin" (Taufik Abdullah, 1985: XVI) mengenai
peristiwa yang menjadi kajiannya. Tentu saja disadari bahwa kemampuan semacam
itu selain bervariasi antara satu sejarawan dengan dengan lainnya tapi juga
bukan tanpa keterbatasan. Dalam semangat yang demikian Belth (1977: 145) menulis
sebagai berikut:
Every such explanation is at best
conjectural and tentative, awaiting only logical support, the support not of
overt vindication but of intellectual satisfaction. And every such explanation
simply awaits the development either of additional records that can be shown to
have been relevent and therefore structurally (in that logical sense), though
not empirically, necessary. Or it waits the development of a new nrodel of
organization of the recorded data, from which other meanings can now be derived
of the evidence available and accepted as relevant.
Artinya:
Setiap penjelasan yang seperti
itu (suatu hasil rekonstruksi) paling tinggi tingkatnya bersifat sementara dan
perkiraan sambil mengharapkan adanya dukungan logika, suatu dukungan yang bukan
bersifat balas-ri-en.balas tapi bersifat kepuasan intelektual. Dan setiap
penjelasan yang demikian hanya nenunggu baik tambahan catatan-catatan yang
dapat menunjukkan relevansinya dan karenanya secara struktural (dalam
pengertian logika tadi) diperlukan walaupun bukan sesuatu yang empirik. Atau ia
menunggu perkembangan suatu model organisasi baru mengenai data tercatat
tersebut berdasarkan hal mana pengertian baru dapat ditarik dari bukti-bukti
yang ada dan diterima sebagai sesuatu yang relevan.
Dengan kesadaran yang demikian
maka modul mengenai sejarah Indonesia pada masa masuk dan perkembangan Islam,
di Indonesia ini dirangkai.
Bahan-bahan sumber, walaupun
kebanyakan adalah sumber kedua, dimanfaatkan sebaik-baiknya selama bahan itu
dapat dipertanggungjawabkan nilainya. Meskipun demikian sangat disadari bahwa
kajian mengenai masuk dan perkembangan Islam, pada masa-masa awal ini lebih
banyak bersifat hipotesis. Saudara mahasiswa dengan demikian ditantang untuk
membuka tabir-tabir baru mengenai masa ini berdasrkan sumber-sumber baru yang
mungkin akan ditemukan kemudian.
Kajian kegiatan pertama ini
dimulai dengan bahasan mengenai jalan perdagangan bangsa Indonesia pada waktu
itu. Hal ini disebabkan karena teori-teori yang berhubungan dengan masuk dan
perkembangan Islam, di Indonesia selalu dihubungkan dengan alur perdagangan
yang ada pada waktu itu. Mengingat sifat hubungan antar bangsa yang umum, pada
waktu itu adalah melalui kegiatan perdagangan.
Pembicaraan berikutnya adalah
mengenai berbagai teori mengenai masa masuknya agama Islam di Indonesia. Dalam
hal ini terutama ditekankan pada persoalan adanya orang Indonesia yang telah
memeluk Islam, dan bukan hanya sekedar adanya orang Islam di Indonesia. Kedua
kriteria ini tentu saja jelas berbeda. Adanya orang Indonesia yang beragama Islam
dapat dipergunakan sebagai petunjuk atau tolak ukur bahwa Islam telah masuk ke
Indonesia. Sedangkan adanya orang Islam, di Indonesia hanyalah dapat dijadikan
bukti bahwa adanya bukti hubungan antara orang Islam, dengan orang Indonesia
tanpa berarti bahwa orang Indonesia telah ada yang memeluk Islam.
Pembicaraan yang ketiga adalah mengenai
perkembangan agama Islam di Indonesia. Tentu saja jelas bagi kita bahwa proses
masuk dan proses berkembang adalah dua hal yang berbeda. Karena itu adalah
sangat menarik untuk mempertanyakan bagaimana agama tersebut berkembang sehingga
pada saat sekarang ia menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas orang
Indonesia.
Bagian akhir dari kegiatan
pertama ini membicarakan peranan orang Indonesia dalam proses perkembangan
agama Islam di Indonesia. Apakah orang Indonesia sebagai pihak penerima yang
pasif ataukah yang aktif. Kiranya hal ini perlu pula dipertanyakan karena seperti telah kita pelajari dari masa
kekuasaan Hindu di Indonesia maka ada teori-teori yang mengesankan peranan
pasif bangsa Indonesia dalam menerima ajaran tersebut. Teori-teori seperti yang
dikembangkan oleh Brandes, Berg, dan juga Krom memberikan kesan peranan pasif
bangsa Indonesia dalam menerima pengaruh Hindu. Apakah keadaan demikian berlaku
juga dalam penyebaran Agama Islam?
Kegiatan pertama ini dikembangkan
juga untuk memberikan bekal bagi guru dalan mengajar. Kajian ini dihubungkan
dengan kurikulum sekolah menengah pertama yang juga membicarakan tentang masa
ini. Tentu saja ruang lingkup materi yang disajikan lebih luas dari apa yang
dapat dibicarakan oleh guru di kelas bersama siswanya. Hal ini dilakukan dengan
sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa guru harus memiliki wawasan yang luas
dan mendalam agar ia dapat berkomunikasi dengan baik. Lagipula berdasarkan
pengalaman dan penelitian sering dijumpai bahwa pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan siswa kadangkala sangat dan keluar dari ruang lingkup bahan yang ada
di buku pelajaran. Karena itu guru harus siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan
semacam itu.
a. Alur Dagang Bangsa Indonesia
Pada suatu saat alur perdagangan
utama di Asia ialah alur dagang yang menghubungkan Cina dengm India. Alur dagang
ini melewati jalan darat melalui daerah yang ribuan kilometer jauhnya. Jalan ini
yang dalam sejarah dikenal dengan sebutan Jalan Sutera, suatu nama yang sangat
jelas menggambarkan barang dagangan utama sutera. Meskipun demikian barang
dagangam lainnya seperti batu permata dan juga bahan makanan dibawa melalui
jalan ini pula.
Tak dapat dipungkiri bahwa alur
perdagangan jalan darat ini bertahan cukup lama. Tetapi dengan kemajuan
teknologi terutama teknologi perkapalan orang mulai mencari altematif lain yang
dianggap lebih menguntungkan. Jalan alternatif itu adalah alur perdagangan
laut.
Sebagaimana jalur yang dinamakan
Jalan Sutera, jalur perdagangan
laut inipun dimulai dari negeri Cina di ujung timurnya. Di ujung bagian barat, alur perdagangan laut itu melalui India dan sampai ke Timur Tengah. Selat Malaka merupakan jalan laut yang paling banyak dilalui kapal-kapal tersebut. Daerah-daerah India (pada waktu itu belum lada negara India) seperti Chola, Cambay, dan juga Surat telah memainkan peranan penting walaupun kedudukan Chola pada pada masa awal lebih
penting. Ini dikarenakan adanya kenyataan bahwa kerajaan besar di daerah utara baru memperhatikan kehidupan perdagangan (terutama perdagangan laut) pada masa Maurya dan kemudian Gupta berkuasa di Magadha.
laut inipun dimulai dari negeri Cina di ujung timurnya. Di ujung bagian barat, alur perdagangan laut itu melalui India dan sampai ke Timur Tengah. Selat Malaka merupakan jalan laut yang paling banyak dilalui kapal-kapal tersebut. Daerah-daerah India (pada waktu itu belum lada negara India) seperti Chola, Cambay, dan juga Surat telah memainkan peranan penting walaupun kedudukan Chola pada pada masa awal lebih
penting. Ini dikarenakan adanya kenyataan bahwa kerajaan besar di daerah utara baru memperhatikan kehidupan perdagangan (terutama perdagangan laut) pada masa Maurya dan kemudian Gupta berkuasa di Magadha.
Lebih ke barat lagi alur perdagangan
itu melewati Laut Arab. Dari sini jalur yang melalui selat Ormuz lebih ramai
dibandingkan jalur yang melalui laut Merah. Melalui kota-kota di daerah Timur
Tengah alur perdagangan tersebut berlanjut ke Laut Tengah dan berhubungan
dengan Eropa.
Sukar dipastikan bilamana alur
perdagangan laut ini dimulai. Demikian pula untuk menentukan apakah alur
perdagangan laut ini berkembang pada waktu yang sama sepanjang alur tersebut.
Tetapi tampaknya alur tersebut telah berkembang sejak masa sebelum Masehi. Pada
masa Maurya alur perdagarigan tersebut sudah ada. Lukisan yang diberikan oleh
Periplus Maris Erythreae (yang menggambarkan geografi perjalanan laut) yang
dipercaya ditulis pada awal abad pertama Masehi memberikan petunjuk bahwa alur
perdagangan tersebut sudah ada masa sebelumnya.
Pada masa Masehi perdagangan
tersebut menjadi semakin ramai. Hal ini terutama disebabkan adanya permintaan yang
makin lama makin bertambah dari Romawi atas barang-barang dari Cina dan
Indonesia. Barang-barang-seperti sutera, pala, kulit penyu, indigo, rempah-rempah
lainnya merupakan komoditi perdagangan menguntungkan.
Apakah bangsa Indonesia telah
turut dalam kegiatan perdagangan pada waktu itu? Melihat alur perdagangan yang
ada terutama penggalan antara Cina dengan India, daerah Indonesia merupakan
daerah yang harus dialuri oleh pedagang.
Sukar dapat dibayangkan bahwa hubungan dagang pada alur ini tidak memberikan
arti sama sekali bagi kegiatan dagang bangsa Indonesia. Keterlibatan bangsa
Indonesia dalam perdagangan tidak hanya disebabkan adanya alur perdagangan yang
melewati daerahnya saja. Apabila kita kaji lebih jauh akan tampak bahwa apa
yang diperdagangkan pada waktu itu memberikan petunjuk adanya keikutsertaan
yang lebih dari hanya sekedar sebagai daerah yang dilewati. Barang-barang
dagangan seperti tarum, kulit penyu, emas, rempah- rempah, dan padi-padian seperti
jawawut merupakan barang dagangan yang banyak dihasilkan di Indonesia.
Dari cacatan sejarah India
diketahui bahwa kerajaan Chola menjadi
makmur pada masa sebelum Masehi dari hasil perdagangannya dengan Malaya dan
Asia Tenggara (Thapar, 1975: 1113). Di antara daerah-daerah Asia Tenggara yang
disebut-sebut ialah: Jawa, Sumtera, dan Kalimantan. Thapar (1975: 118) menulis:
Tarade with the Yavanas was not
the only commercial outlet open to India. This was the period which saw the
extension of trade with south-east-Asia, caused at first by the Roman demand
for spices which led Indian merchants to venture as middlemen to Malaya, Java,
Sumatera, Cambodia, and Borneo, the sources of spices.
Terjemahannya:
Perdagangan dengan Yavana (Thapar
mengindentifikasi Yavana dengan orang-orang dari Timur Tengah dan Laut Tengah)
bukanlah satu-satunya jalan perdagangan yang terbuka bagi India. Masa ini
adalah masa yang memperlihatkan perluasan perdagangan dengan Asia Tenggara
karena terutama disebabkan oleh tuntutan orang Roma atas rempah-rempah sehingga
menyebabkan pedagangpedagang India mengambil resiko sebagai pedagang perantara
ke Malaya, Jawa, Sumatera, Kamboja, dan Kalimantan yang merupakan sumber
rempah-rempah.
Lukisan yang diberikan Thapar tersebut
ialah lukisan India pada masa 200 sebelum Masehi sampai dengan 300 Masehi.
Dengan demikian kita ketahui bahwa perdagangan sebetulnya telah terjadi antara
Indonesia dengan India sebelum pengaruh India dominan di Indonesia. Dari
lukisan itu juga ada petunjuk bahwa pedagang India tersebut datang ke Indonesia
dalam rangka memenuhi kebutuhan orang-orang Roma akan rempah- rempah yang
semakin lama semakin besar jumlahnya. Sehingga para pedagang tersebut berani
mengambil resiko mengarungi lautan datang ke Indonesia. Selanjutnya, ada kesan
yang kuat bahwa sebelumnya pedagang-pedagang India menerima rempah-rempah, tersebut
di negerinya dan kemudian dijual kembali ke pedagang Timur Tengah dan seterusnya
ke Roma.
Lantas sebelum pedagang India
mengambil peran aktif untuk mendatangi daerah-daerah penghasil rempah-rempah
secara langsung siapakah yang membawa rempah- rempah tersebut ke India? Bukan tidak mungkin bahwa justru pedagang
Indonesia yang menjadi pembawa barang dagangan itu sendiri. Kalau kita ingat
bahwa bangsa Indonesia sejak zaman terdahulu telah hemiliki kemampuan dalam
pelayaran kiranya kemungkinan tersebut tidaklah berlebihan. Adanya pendapat
beserta bukti-buktinya bahwa bangsa Indonesia telah mampu berlayar sampai ke
Madagaskar memberikan dukungan akan kemungkinan bahwa pembawa barang-barang
tersebut adalah bangsa Indonesia.
Kemungkinan lain adalah bahwa
barang-barang dari Indonesia itu
dibawa oleh pedagang-pedagang Cina. Kemungkinan yang sama bagi pedagang-pedagang Arab karena hubungan dagang antara Cina-India dan Cina-Arab telah terjadi pada masa itu. Tentu saja kemungkinan lainnya adalah bahwa pedagang-pedagang Indonesia, Cina dan Arab bersama-sama membawa barang dagangan tadi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan adanya perhitungan yang lebih menguntungkan pedagang-pedagang India mulai memasuki wilayah perdagangan di daerah ini secara langsung.
dibawa oleh pedagang-pedagang Cina. Kemungkinan yang sama bagi pedagang-pedagang Arab karena hubungan dagang antara Cina-India dan Cina-Arab telah terjadi pada masa itu. Tentu saja kemungkinan lainnya adalah bahwa pedagang-pedagang Indonesia, Cina dan Arab bersama-sama membawa barang dagangan tadi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan adanya perhitungan yang lebih menguntungkan pedagang-pedagang India mulai memasuki wilayah perdagangan di daerah ini secara langsung.
Pada abad-abad permulaan Masehi
jalur perdagangan laut ini makin berkembang. Pedagang-pedagang India, Arab, dan
Cina makin bertambah banyak yang datang ke Indonesia. Demikian pula para
pedegang Indonesia banyak yang datang ke India. Pada masa inilah kiranya (di
India pada masa itu berada dibawah kekuasaan dinasti Gupta yang berkuasa di
Magadha) agama Hindu beserta pengaruhnya masuk ke Indonesia.. Agama Islam belum
lahir dan karenanya belum ada pedagang-pedagang Islam. Pedagang-pedagang dari
daerah Timur Tengah terutama dari Arab Saudi tentu saja telah datang dan
seperti pedagang Hindu mereka juga sebagian telah bermukim di Indonesia. Adanya
berita Arab yang menyebutkan kerajaan Zabag yang dipersamakan dengan Sriwijava
memberikan bukti tentang kehadiran pedagang-pedagang Arab tersebut.
Pada abad-abad berikutnya jalur
perdagangan laut semakin lama semakin ramai. Permintaan akan barang-barang Asia
di Eropa makin lama semakin bertambah. Keuntungan yang menggiurkan dan juga
perjalanan-perjalanan keagamaan. Seperti kita ketahui bahwa agama Buddha dan
juga Hindu telah menyebar ke luar India. Agama Buddha, misalnya, telah
berkembang di Indo Cina dan Cina. Agama Hindu telah menunjukkan pengaruhnya di
Indonesia seperti kerajaan Kutai dan Taruma.
Sementara itu di Indonesia telah
berkembang kerajaan-kerajaan yang juga terlibat dalam alur perdagangan tersebut.
Melanjutkan tradisi dari perdagangan, sebelumnya, kerajaan inipun mengirimkan
saudagar-saudagarnya ke India. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan
Indonesia yang terkenal karena kegiatan maritim dan perdagangan lautnya.
Pada masa yang sama agama Islam
telah berkembang. Bahkan pada awal abad ke-8
pusat kerajaan Islam di Damaskus telah merupakan pusat perdagangan yang
ramai. Muawiyah yang menjadi pendiri dinasti merupakan orang yang cakap dan
mempunyai perhatian yang serius terhadap perdagangan. Pedagang Arab-Islam
berlayar ke India, Asia Tenggara dan Cina melanjutkan tradisi nenek moyangnya
yang telah berkembang sebelum Islam. Bukti-bukti mengenai kehadiran pedagang
Arab-Islam cukup banyak. Bukti-bukti ini akan kita pergunakan untuk membicarakan
proses masuknya Islam di Indonesia.
b. Proses Masuknya Islam ke Indonesia
Posisi geografis Indonesia sangat
khusus karena sebagai negara kepulauan tidak ada bagian dari Indonesia yang
secara langsung berhubungan dengan daratan benua Asia. Keadaan yang khusus ini
tentu memberikan kemungkinan-kemurigkinan khusus pula bagi Indonesia dalam
menerima pengaruh luar. Keadaan geografis kepulauan Indonesia menyebabkan
satu-satunya alternatif yang sangat mudah diterima dan dapat dipahami bagi
Indonesia dalam menerima pengaruh luar adalah melalui jalan hubungan laut.
Jalan hubungan laut pada waktu
(masa abad ke 6 sampai dengan abad ke 20 permulaan) sangat didominasi oleh
keperluan perdagangan. Pemakai jalan ini untuk keperluan lain ialah bagi perjalanan
agama. Penziarah-penziarah Buddha dari Cina ke India mempergunakan jalan ini pula. Tampaknya demikian pula halnya dengan
proses masuknya agama Islam ke Indonesia. Jalur perdagangan laut ini menjadi
pula jalur kedatangan Islam ke Cina Asia
Tenggara dan terutama Indonesia. Meskipun demikian kita tidak mendapatkan bukti
adanya suatu misionaris Islam yang khusus datang ke wilayah in dalam usaha menyebarkan agama tersebut.
Ketiadaan misionaris ini kiranya
dapat dipahami karena sifat ajaran agama Islam itu sendiri yang mengajarkan
bahwa setiap pemeluk Islam adalah penyebar agama. Konsekuensi dari ajaran ini ialah
seorang muslim haruslah seorang yang mengetahui agamanya secara baik dan dapat
mengajarkan agama tersebut kepada orang lain. Dalam konteks yang sedang kita bicarakan
disini hal tersebut berarti bahwa setiap pedagang muslim adalah pula penyebar agama Islam.
Sehubungan dengan masalah proses
masuknya ini pertanyaan-pertanyaan berikut ini diajukan:
1.
Pedagang Islam manakah yang membawa agama Islam ke
Indonesia? Pertanyaan ini perlu diajukan karena pedagang Islam tidak selalu
sama dengan pedagang Arab. Pedagang Islam yang datang pada waktu proses Islamisasi
tadi dapat saja pedagang bukan Arab seperti Pedagang Persia ataupun pedagang
India. Mungkin juga pedagang Cina atau pedagang bangsa lain. Juga mungkin sekali
pedagang Indonesia sendiri yang datang ke tempat lain memeluk Islam dan
kemudian membawa agama barunya tersebut ke tanah air.
2.
Bilamanakah agama Islam masuk ke Indonesia?
Kedua pertanyaan ini akan merupakan titik tolak
kajian bagian ini. Marilah kita bicarakan pertanyaan yang pertama.
Dari uraian di atas telah kita
ketahui bahwa pedagang Arab telah sampai ke India jauh sebelum masa Islam
berkembang. Pada masa Islam berkembang kedatangan pedagang-pedagang Arab ke India
sudah bukan merupakan suatu pandangan yang asing lagi. Daerah-daerah India
seperti Surat, Cambay dan Debul di Sind merupakan pelabuhan-pelabuhan yang
banyak didatangi oleh para pelaut Islam (Symonds, 1950: 17).
Selain ke India, pedagang
Arab-Islam tersebut telah pula datang ke Indonesia dan Cina. Benda-benda yang
berhubungan dengan ilmu perbintangan yang dapat ditemukan di negara Cina
memperlihatkan bahwa barang-barang tersebut dibuat di Arab. Bahkan bukti-bukti
cukup kuat memperlihatkan bahwa ilrnu perbintangan di Cina berkembang setelah
mendapat guru-guru orang Arab yang bekerja di pusat-pusat kajian perbintangan
di sana. Bagi orang Arab sendiri ilmu perbintangan tersebut telah berkembang
jauh sebelum kelahiran agama Islam.. Peninggalan-peninggalan dari kerajaan
Sumeria memberikan petunjuk bahwa perbintangan telah merupakan ilmu yang
mendapat tempat dalam masyarakat.
Bukti mengenai kedatangan orang
Arab-Islam ke Indonesia sangat langka dibandingkan dengan bukti kehadiran
mereka di India. Dari sumber-sumber Indonesia sendiri herannya kita tidak
mendapatkan petunjuk akan kehadiran orang-orang Arab tersebut. Peninggalan-peninggalan
kerajaan Sriwijaya, Mataram dan juga Majapahit tidak menyinggung-nyinggung
mengenai kehadiran pedagang Arab. Demikian pula sumber-sumber yang dapat kita
temukan dari kerajaan-kerajaan Indonesia lainnya.
Ketiadaan berita ini mungkin
sekali disebabkan kehadiran orang‑orang Arab yang sudah lama di wilayah
Indonesia. Kehadiran yang lama tersebut menyebabkan mereka tidak lagi dianggap
sebagai sesuatu yang asing dan perlu dilaporkan. Keadaan seperti itu kita
jumpai pula misalnya mengenai kehadiran orang-orang India yang juga dapat dikatakan
tidak pernah disebut-sebut dalam sumber sejarah yang berasal dari masa kejayaan
kerajaan Indonesia-Hindu.
Hal lain yang mungkin menyebabkan
tiadanya berita mengenai orang-orang Arab tersebut mungkin sekali dikarenakan
mereka tidak langsung berhubungan dengan para penguasa/raja Indonesia. Sebagai
pedagang mereka berada di kota-kota pelabuhan dan hanya berhubungan dengan para
pedagang. Artinya, mereka tidak langsung berhubungan dengan para penguasa
walaupun para penguasa tersebut dianggap sebagai pemilik barang. Oleh karenanya
mereka tidak tercatat dalam pengumuman atau dokumentasi pemerintahan. Kemungkinan
ini memang sangat kecil mengingat kegiatan perdagangan merupakan salah satu
kegiatan yang tak akan lepas dari perhatian penguasa. Walaupun demikian
kemungkinan seperti ini bukanlah sesuatu yang mustahil apabila diingat pula
bahwa catatan-catatan yang dikeluarkan pemerintah pada umumnya berhubungan
dengan peristiwa dalam negeri yang berkaitan dengan anak negeri atau peristiwa
yang berkisar pada kehidupan raja.
Bukti mengenai kehadiran orang-orang
Arab di Indonesia lebih banyak berasal dari sumber-sumber luar negeri. Selain
sumber dari Arab sendiri yang menyebutkan mengenai kerajaan Sriwijaya seperti
telah disebutkan terdahulu, yang dapat kita kenal adalah sumber dari Cina.
Bangsa Cina yang merupakan bangsa tertua di dunia yang gemar membuat catatan-catatan
mengenai peristiwa yang terjadi menyebutkan adanya orang-orang Arab di
Indonesia.
Di antara sumber-sumber dari Cina
yang berhubungan dengan kehadiran orang Arab di Indonesia ialah catatan yang
dibuat oleh para pelayar Cina pada abad
ke-7 Masehi dan yang lain ialah catatan dari abad yang sama mengenai raja
Ta-cheh atau Ta-shih. Mengenai yang pertama, Hamka (1961 7:- 660 - 661) sebagai
berikut (ejaan sudah disesuaikan dengan EYD, pen.) :
namun kita telah mendapati catatan-catatan
tahunan yang diperbuat oleh pelayar-pelayar Tionghoa pada tahun 684 M. tentang
berjumpanya seorang pemimpin Arab - yang menurut penyelidikan terakhir ialah pemimpin
dari suatu koloni orang Arab di pantai Sumatera sebelah barat.
Laporan mengenai Ta-shih berhubungan
dengan catatan Cina yang berhasil dikumpulkan oleh Groeneveldt. Dalam
tulisannya yang berjudul "Historical notes on Indonesia & Malaya:
Compiled from the Cinese Sources" dan diterbitkan oleh Bhratara,
Groenveldt menterjemahkan catatan Cina itu sebagai berikut:
In 674 the people of this country
took as their ruler a woman of the name Sima. her rule was most excellent, even
things dropped on the road were not taken up. The prince of the Arab, hearin of
this, sent a bag with gold to be laid down within her frontiers: the people who
passed that road three years. Once the heir apparent stepped over that gold and
Sima became so incense that she wanted to kill him. Her ministers interceded
and then Sima said: "Your fault lies in your feet, therefore it will be
sufficient to cut them off'. The ministers interceded again and she had his
toes cut off, in order to give an example the whole to nation, When the prince
of Tazi heard this, he became afraid and dated not attack her (Groeneveldt,
1960: 14)
Terjemahannya:
Pada tahun 674 rakyat negeri ini
mengangkat seorang wanita yang bernama Sima sebagai penguasa mereka.
Pemerintahannya sangat baik bahkan barang-barang yang jatuh di jalan dibiarkan
tidak dicuri orang. Seorang pangeran Arab mendengar keadaan ini dan kemudian
meletakkan sekarung emas di daerah
perbatasan kerajaan: penduduk negeri yang melewati jalan tersebut
menghindari diri dari karung tersebut dan berada di sana selama tiga tahun tanpa
terganggu. Pada suatu waktu putra mahkota menginjak emas tadi dan Sima menjadi
sangat murka sehingga ia ingin membunuh putra mahkota tersebut. Para menteri menengahi
dan kemudian Sima berkata: "Kesalahanmu terletak pada kakimu karena kaki
tersebut harus dipotong". Para menteri kembali menengahi dan sang Ratu
memotong tumit putra mahkota sebagai pelajaran bagi seluruh rakyat. Ketika
pangeran Tazi mendengar hal ini dia menjadi takut dan tidak berani menyerang
Ratu.
Dari kedua sumber tersebut
terdapat petunjuk bahwa orang Arab-Islam telah ada di Indonesia pada abad ke
-7. Hal ini bukan sesuatu yang sukar dipahami mengingat aktivitas pelayaran
bangsa Arab di daerah Asia Tenggara. Tetapi apakah hal itu langsung dapat
dijadikan bukti bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sesuai dengan definisi
yang dikemukakan dibagian terdahulu? Kedua sumber itu baru dapat dijadikan
bukti bahwa Islam telah datang ke Indonesia. Untuk dapat menentukan bahwa Islam
telah masuk diperlukan data lebih lanjut yang memberikan informasi bahwa orang
Indonesia telah ada yang masuk Islam. Apabila informasi yang demikian tidak kita
peroleh dari sumber-sumber sejarah yang kita miliki tentu saja suatu rangkaian
hipotesis perlu dikemukakan.
Bukti-bukti mengenai adanya orang
Islam di Indonesia terutama terlihat pada abad-abad berikutnya, terutama abad
ke-13. Bukti ini berhubungan dengan timbulnya kekuasaan kenegaraan yang
berdasarkan ajaran Islam. Kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai di Aceh
dan pada abad-abad kemudian Demak di Jawa Tengah merupakan bukti yang jelas
mengenai adanya pemeluk agama Islam di Indonesia. Meskipun demikian kiranya
kita sadari bahwa suatu kerajaan Islam tidak muncul tiba-tiba begitu saja.
Tentu saja ada proses sebelumnya sehingga kerajaan tersebut berhasil muncul.
Lagipula pengetahuan kita tentang adanya kerajaan tadi berdasarkan sumber-sumber
tertulis yang berhasil kita temukan atau yang sampai pada kita.
Adanya suatu proses merupakan
pula dasar berpikir yang dapat dipergunakan untuk menutupi kekurangan data
konkrit mengenai adanya orang Indonesia yang masuk Islam. Demikian pula sifat
pengembangan agama Islam yang dilakukan secara damai dan bukan melalui
perluasan kekuasaan. Berdasarkan pemikiran yang demikian maka sangat sukar dipahami
bahwa apabila terjadi kolonisasi orang Arab-Islam baik di pesisir Sumatera
Barat maupun di kota-kota pelabuhan lainnya tidak menimbulkan usaha
pengembangan agama Islam di kalangan penduduk asli.
Sangat besar kemungkinan bahwa
pada abad ke-7 tersebut telah ada orang Indonesia yang memeluk agama Islam.
Kalau pun yang memeluk agama baru tersebut bukan orang Indonesia dari kasta
Sudra sebagaimana kasus di India, paling tidak orang-orang Indonesia yang
pertama memeluk agama Islam tersebut adalah teman berdagang orang-orang Arab
tersebut dan juga kalangan wanita. Tampak mereka inilah yang paling mungkin
menjadi pemeluk agama Islam.
Jadi dengan demikian dapat
dikatakan bahwa agama Islam telah mempunyai pengikut (pemeluk) orang Indonesia
pada abad ke-7 Masehi tersebut. Meskipun demikian pemeluk agama Islam masih
sangat terbatas dan bersifat sporadis di daerah-daerah pelabuhan dan sekitarnya.
Mungkin sekali keadaan ini sama dengan keajaan Islam di India pada abad yang
sama di India pada masa ini baru berhasil mendirikan pusat-pusat kekuasaan yang
bersifat terbatas di daerah Sind. Di Indonesia pusat-pusat kekuasaan tadi belum
terbukti. Barangkali yang ada hanya kampung-kampung Islam dan bukan
pusat-pusat kekuasaan Islam.
Kalau ungkapan di atas dapat
diterima sebagai suatu kenyataan maka kita telah menjawab pertanyaan kedua yang
kita ajukan di atas yakni agama Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7
Masehi. Agama tersebut baru berkembang pesat pada masa belakangan (abad ke-12
dan selanjutnya). Tampaknya pada abad ke-7 tersebut agama Islam hanya
disebarkan oleh para pedagang. Para mubalig atau pemuka agama yang secara khusus
melakukan dakwah belum banyak atau mungkin tidak ada sama sekali. Akibatnya,
perkembangan agama Islam sepenuhnya tergantung dari kegiatan para pedagang tersebut.
Artinya, mereka menyebarkan ajaran Islam pada waktu-waktu tertentu saja yaitu
ketika mereka sedang senggang. Sedangkan kita ketahui, sebagai pedagang mereka
menghabiskan sebagian waktunya dalam perjalanan. Oleh karena itu pemeluk agama
Islam menyebar didaerah-daerah yang dikunjungi para pedagang, tapi tidak dalam
jumlah besar untuk setiap daerah. Setelah ada usaha yang lebih sistematis
dengan munculnya kelompok pemuka agama yang lebih banyak mencurahkan waktunya
untuk mengajarkan Islam barulah agama Islam berkembang secara pesat di
Indonesia.
Sekarang kita kembali kepda
pertanyaan pertama yaitu pertanyaan mengenai pedagang mana yang membawa agama
Islam ke Indonesia. Dari uraian mengenai jalur perdagangan dan mengenai
masuknya Islam di Indonesia ada kecenderungan bahwa pembawa Islam ke Indonesia
ialah para pedagang bangsa Arab. Adanya kolonisasi Arab di Sumatera Barat dan
adanya keterangan Cina mengenai raja Ta-shih memberi petunjuk kuat akan peran
pedagang Arab dalam proses masuknya agama Islam ke Indonesia. HAMKA merupakan
salam seorang penganut dari pendapat tersebut. Haji Agus Salim (1962) juga
berpendapat sama dengan HAMKA (1961).
Pendapat lain mengatakan bahwa
agama Islam datang dan masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang Islam dari
daerah Gujarat (India). Para orientalis (ahli tentang dunia timur) terutama C.
Snouck Hurgronje yang anti Islam dan J.P. Moquette yang ahli purbakala (Sartono
Kartodihardjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, 1976: 111
- 112) adalah termasuk para sarjana yang berpendapat bahwa Islam datang ke
Indonesia melalui pedagang Gujarat. Pendapat mereka ini didasarkan pada peninggalan-peninggalan
Islam yang ada di Indonesia.
C. Snouck Hurgronje dalam tulisannya
yang berjudul “De Islam in Nederlandsch-Indie"
(Islam di Nederlandsch Indie = Islam di Nusantara) mengemukakan bahwa bukti
adanya hubungan langsung antara pedagang Arab dan Indonesia memberikan petunjuk
bahwa hubungan itu terjadi pada abad-abad kemudian yaitu sekitar pertengahan
abad ke-17. Pada masa sebelumnya hubungan antara Indonesia dengan Arab dilakukan melalui pedagang perantara dari daerah Gujarat. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa cerita-cerita Islam yang ada di Indonesia lebih menunjukkan pengaruh India dibandingkan pengaruh Arab. Demikian pula kebiasaan-kebiasaan muslim di Indonesia memberi petunjuk yang kuat ada1ah pengaruh India.
abad ke-17. Pada masa sebelumnya hubungan antara Indonesia dengan Arab dilakukan melalui pedagang perantara dari daerah Gujarat. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa cerita-cerita Islam yang ada di Indonesia lebih menunjukkan pengaruh India dibandingkan pengaruh Arab. Demikian pula kebiasaan-kebiasaan muslim di Indonesia memberi petunjuk yang kuat ada1ah pengaruh India.
J.P. Moquette mendasarkan
teorinya atas analisisnya mengenai nisan Malik as-Saleh yang berasal dari
Samudera Pasai. Dalam tulisannya yang berjudul "De Grafsteenen te Pase en
Grisse vergeleken met dergelijke monumenten uit Hindoestan" (=
Perbandingan batu nisan Pase dan Gersik serta persamaannya dengan bangunan-bangunan
Hindu), Moquette menyimpulkan bahwa baik batu nisan Malik as-Saleh maupun
batu-batu nisan lainnya menunjukkan adanya persamaan bentuk dengan yang
terdapat di Cambay dan Gujarat. Berdasarkan kesimpulan inilah ia berpendapat
bahwa Islam di Indonesia dipengaruhi oleh Islam India.
Ada lagi pendapat yang mengatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Persia (Persia =
Iran). Adanya nama-nama raja yang memakai gelar Shah, kata-kata Indonesia seperti
Shahbandar, lebai, dan sebagainya serta ali ran
Shiah dijadikan bukti mengenai peranan pedagang Persia dalam masuknya
dan perkembangan agama Islam di Indonesia.
Memang sukar untuk mengambil
suatu kesimpulan yang kuat mengenai pedagang darimana yang membawa agama Islam
ke Indonesia. Kesulitan itu terutama disebabkan bukti-bukti yang ada
menunjukkan adanya berbagai pengaruh tersebut. Lagipula pendapat-pendapat
tersebut hanya berdasarkan suatu bukti-bukti yang bersifat eksklusif. Kenyataan
di Indonesia menunjukkan bahwa praktek agama Islam yang ada beragam.
Lebih lanjut, adanya kata-kata
Persia belum merupakan suatu bukti yang kuat bahwa Islam dibawa oleh para
pedagang negara tersebut. Bukan tidak mungkin bahwa dalam perjalanan mereka ke
Indoneasia orang-orang Arab mengutip perkataan tadi dan mempergunakannya.
Mungkin pula pedagang Islam-India yang dari Gujarat dan banyak berhubungan
dengan Iran membawa kata-kata tadi ke Indonesia.
Demikian pula dengan bukti yang
diambil dari bentuk-bentuk nisan. Kalau kita perhatikan lebih mendalam segera
akan tampak bahwa peningggalan-peninggalan seperti nisan tadi berasal dari abad
ke-11, 12, dan 13. Sedangkan agama Islam telah berada dan masuk ke Indonesia
jauh sebelumnya. Oleh karenanya bukan tidak mungkin bahwa nisan tersebut dibawa
setelah terjadi perkembangan lain di Indonesia. Seperti kita ketahui di Arab
sendiri nisan kubur bukan merupakan sesuatu yang umum dipergunakan. Kiranya nisan
itu sendiri dapat dikatakan sebagai petunjuk bahwa ada perubahan dalam praktek
agama terutama dalam kebiasaan memberikan tanda kubur bagi orang yang sudah meninggal.
Bukan tidak mungkin bahwa kebiasaan ini merupakan usaha melestarikan kebiasaan
masa prasejarah Indonesia. Kebiasaan ini yang telah dilanjutkan di masa
pengaruh Hindu kemudian muncul kembali pada masa Islam.
Oleh karenanya, kesimpulan yang
agak umum dan mempunyai kekuatan yang lebih baik yang dapat diambil untuk
menjawab pertanyaan mengenai pedagang mana yang membawa agama Islam ke
Indonesia. Dalam hal ini kesimpulan yang diambil oleh penulis buku Sejarah
Nasional Indonesia jilid III atas nama Sartono, Yartodihardjo, Marwati Doened
Poesponego dan Nugroho Notosusanto yang disunting oleh Tjandrasasmita (1976)
memenuhi persyaratan tersebut. Mereka menulis bahwa agama Islam datang ke
Indonesia d ibawa oleh para pedagang muslim dari “Arab, Persia, India (Gujarat,
Benggala)".
c. Proses Perkembangan Agama Islam
Di bagian b kita telah
membicarakan mengenai proses masuknya agama Islam di Indonesia. Di bagian itu
pula kita singgung secara sepintas mengenai proses perkembangan agama Islam.
Dikatakan di bagian b tersebut bahwa mulanya perkembangan agama Islam itu tidak
bersifat sistematis dan hanya dipeluk orang Indonesia yang benhubungan langsung
dengan para pedagang muslim. Di bagian ini akan kita bicarakan lebih lanjut mengenai
perkembangan agama Islam di Indonesia yaitu suatu proses setelah agama Islam
menjadi agama sebagaian kecil orang Indonesia sehingga menjadi agama yang
dipeluk oleh mayoritas penduduk.
Mengenai proses perkembangan
agama Islam ini kita berbicara tentang dua fase yang mempunyai karakteristik
berbeda. Perbedaan itu terjadi terutama disebabkan kelengkapan sumber dan juga
dikarenakan adanya sistem sosial dan politik yang berbeda dalam kehidupan
masyarakat Islam di Indonesia. Fase pertama antara abad ke-7 sampai dengan abad
ke-12 dimana kehidupan orang-orang Islam tidak diketahui dengan jelas dan
sumber-sumber mengenai kehidupan mereka masih langka. Pada fase kedua yang merupakan
fase lebih cerah dalam arti kita mengetahui lebih banyak perihal kehidupan
orang Islam dan sumber-sumber pun lebih lengkap.
Dalam fase pertama perkembangan
Islam sangat lamban. Kiranya hal ini berhubungan dengan cara perluasan Islam
itu sendiri. Ada kesan yang kuat bahwa pengembangan Islam dalam fase pertama
ini dilakukan terutama dengan cara perkawinan. Buku Sejarah Nasional Indonesia
menggambarkan proses tersebut sebagai berikut:
Bagi pedagang-pedagang asing yang
datang ke negeri-negeri lainnya biasanya tidak membawa isteri. Karena itu mereka
cenderung untuk membentuk keluarga di r-empat yang baru itu. Untuk memperoleh
seorang wan ita pribumi yang ada disekitar perkampungannya itu mereka tidak
mengalami kesukaran (Hal ini terutama disebabkan kedudukan mereka yang cukup terhormat
di masyarakat, pen.). Tetapi perkawinan dengan orang penganut benhala dianggap
mereka kurang sah, karena itu wanita tersebut diIslamkan terlebih dahulu dengan
cara agar mengikuti mengucapkan kalimat syahadat. Hal itu berjalan dengan mudah
karena tanpa ada pentasbihan atau upacara-upacara yang panjang lebar dan
mendalam sehingga penganut-penganut yang bukan Islam yang melakukan cara
tersebut merasa senang dan segera menyadari bahwa mereka termasuk dalam lingkungan
penduduk-penduduk asing yang dianggap lebih daripada mereka.
Tampaknya cara perkawinan in berkembang luas. Bukan tidak mungkin bahwa
wanita pribumi yang dijadikan isteri berasal dari kalangan penguasa di daerah
tersebut. Akibatnya kedudukan pedagang-pedagang Islam tadi menjadi semakin
kuat. Lagipula keturunan yang dihasi1kan dari perkawinan tersebut tidak saja
merupakan generasi Islam pribumi tapi juga merupakan pewaris-pewaris kekuasaan
pertama di Indonesia.
Pada suatu ketika pewaris ini
menjadi penguasa yang sesungguhnya. Ia merupakan penguasa Islam pertama di daerah
tersebut apabila kelak tidak sempat mengikuti jejak ibunya masuk menjadi
muslim. Timbulnya penguasa Islam ini memberikan pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan
Islam di Indonesia.
Pada umumnya masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang menganggap penguasa adalah panutan hidup. Dalam bentuk
yang paling awal penguasa tadi dianggap sebagai wakil dari nenek moyang karena
itu ia dianggap sebagai orang, yang harus diteladani. Keyakinan yang demikian
berlangsung terus. Pada waktu penguasa tersebut adalah seorang muslim maka
rakyat pun banyak pula yang mengikuti jejaknya. Pada masa inilah perkembangan
agama Islam menjadi lebih pesat dari masa sebelumnya.
Bukti-bukti mengenai adanya perkawinan
tersebut banyak terdapat dalam ceritera-ceritera babad. Sejarah Nasional
Indonesia jilid III (1976: 122) mengemukakannya dalam bentuk rangkuman sebagai
berikut:
Dalam babad Tanah Jawi diceriterakan tentang perkawinan putri Cempa dengan seorang raja Majapahit
yaitu Brawijaya, sedangkan ayah putri Cempa itu adaiah seorang misionaris
Muslim yang kawin dengan ibunya, anak raja Cempa yang semula bukan penganut
Islam. (Dari hasil perkawinan inivnantinya lahir Raden Patah yang kemudian
mendirikan kerajaan Demak, pen.). Maulana Iskhak datang di Balambangan dan
kemudian melakukan perkawinan dengan putri raja negeri tersebut yang kemudian
melahirkan Sunan Giri. Dalam babad Tanah Jawi
itu juga diceritakan perkawinan antara Raden Rahmat atau Sunan Ngampel
dengan Nyai Gede Manila, putri tumenggung Wilatikta. Dalam babad Cirebon diceritakan
perkawinan antara putri Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati. Babad Tuban
menceritakan pula tentang perkawinan antara Raden Ayu (sic.) Teja, putri Aria
Dikara yang menjadi adipati Tuban, dengan Seh Ngabdurahman, seorang Arab Muslim
yang kemudian mempunyai anak laki-iaki dengan gelar Arab benama seh (sic) Jali
atau Jaleluddin.
Kutipan di atas memang berasal
dari sumber sejarah tradisional yang kita kenal dengan nama babad. Walau pun
babad sebagai sumber sejarah harus kita terima dengan hati-hati karena sering
tercampur antara realita dengan khayalan tetapi adanya kecendrungan yang
universal mengenai peristiwa itu kiranya cukup memberikan petunjuk akan adanya
peristiwa searah yang demikian.
Fase pertama proses perkembangan
Islam ini tampaknya merupakan cara yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada
waktu itu. Meskipun demikian fase ini dapat dianggap sebagai peletak dasar untuk
perkembangan Islam pada fase berikutnya yaitu dimana masyarakat Islam telah
terorganisasi dalam bentuk kenegaraan. Bentuk kenegaraan itu mungkin diperoleh
sebagai warisan dari orang tua atau kakeknya atau pun merupakan suatu usaha
sendiri dengan bantuan para pengikutnya. Pendirian kerajaan Demak adalah contoh
dimana Raden Pacah beserta pengikutnya, mendirikan suatu kerajaan baru.
Fase kedua perkembangan agama
Islam di Indonesia memberikan kepada kita gambaran mengenai berbagai kerajaan
Islam Indonesia. Kerajaan-kerajaan ini menyebar di seluruh wilayah Nusantara.
Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa telah menjadi suatu kekuatan nyata
dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Ia bahkan menjadi kekuatan yang cukup
tangguh dalam menghadapi kekuasaan Eropa yang datang kemudian dengan tujuan
tidak hanya mencari keuntungan melalui perdagangan, tapi juga mencari keuntungan
dengan cara mengamankan daerah komoditi perdagangan itu sendiri.
Dalam fase ini kita juga mengenal
adanya usaha penyebaran agama Islam yang dilakukan secara lebih sistematis oleh
para pemuka agama. Peranan para penyebar yang di pulau Jawa dikenal dengan nama
Wali Sanga memberikan suatu gambaran yang lebih jelas mengenai perkembangan
agama Islam. Kesembilan wali tersebut dianggap sebagai orang yang paling
berjasa dalau penyebaran agama Islam di pulau Jawa.
Kesembilan wali tersebut inlah:
- Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
- Raden Rahmat atau Sunan Ngampel
- Machdun Ibrahim atau Sunan Bonang
- Masih Munat (Ma'unat) atau Sunan Drajat
- Maulana 'Ainul Yaqin (Raden Paku) atau Sunan Giri
- Muhammad Said atau Sunan Kalijaga
- Syeh Jatar Sidiq atau Sunan Kudus
- Fatahillah atau Sunan Gunung Jati
- Sunan Muria.
Dari daftar nama Wali Sanga tersebut terlihat bahwa
hanya seorang yang berkedudukan di Jawa Barat yaitu Sunan Gunung Jati. Wali
Sanga yang tinggal dan menyebarkan ajaran Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Maulana Malik Ibrahim yang bertempat tinggal di Gresik dan karenanya diberi
julukan Sunan Gresik merupakan wali tertua dari Wali Sanga. Keempat wali
berikutnya masih mempunyai hubungan kekeluargaan dan menyebarkan agama di Jawa
Timur pula. Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sunan Muria adalah para wali yang
berasal dari Jawa Tengah terutama Jawa Tengah bagian utara.
Istilah wali itu hanya
dipergunakan di pulau Jawa. Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III
(1976: 116-117) kedudukan para wali ini bukan hanya sebagai penyebar/pengajar
agama. Di samping tugas pokoknya tersebut para wali itu juga bertindak sebagai
dewan penasehat dan pendukung raja-raja yang memerintah. Sunan Kalijaga,
misalnya, menjadi penasehat raja Demak. Demikian Sunan Giri yang dipergunakan
sebagai penasehat Majapahit dalam soal-soal yang berhubungan dengan masyarakat
Islam di sana.
Dari sejarah Jawa Barat bahkan kita
ketahui bahwa Sunan Gunung Jati adalah pendiri kerajaan Cirebon dan Banten. Ia
yang masih keturunan Prabu Siliwangi pada mulanya mendirikan kerajaan Cirebon.
Setelah itu ia menguasai Banten dan mendirikan kerajaan Islam di sana walaupun
kemudian pemerintahannya diserahkan terutama kepada putranya Sultan Hasanuddin.
Oleh karena itu tidaklah aneh apabila dalam Babad Cirebon (Babad Tjerbon yang ditranskripsikan
dan diberi catatan oleh J.L.A. Brandes) berkali-kali menyebutkan Sunan Gunung
Jati dengan nama panggilan pandita-ratu. Gelar tersebut sangat sugestif
menunjukkan kedudukamya baik sebagai Pandira (ulama agama) dan ratu (penguasa)
Sunan Gunung Jati bukanlah
satu-satunya wali yang mempunyai hubungan darah dengan keraton. Sunan Ngampel
atau Raden Rahmat masih keturunan raja Majapahit. Dengan demikian Sunan Bonang
dan Sunan Drajat yang kedua-duanya adalah putra Sunan Ngampel adalah pula wali
yang masih mempmyai hubungan darah dengan keraton Majapahit. Sunan Giri masih
mempunyai hubungan darah dengan kerajaan Balambangan karena ibunya yang kawin
dengan Maulana Iskhak adalah putri raja blambangan. Sunan Kalijaga merupakan
putera Tumenggung kerajaan Majapahit.
Perkataan ratu tidak menunjukkan
bahwa yang diberi gelar tersebut perempuan. Kata ratu yang mempunyai padanan
datu dipakai dalam pengertian baik laki-laki maupun perempuan. Kata keraton
yang berasal dari keratuan menunjukkan tempat tinggal raja dan keputren untuk
putri-putri. Kata raja yang berasal dari bahasa Sanskerta menjadi kata bahasa
Indonesia untuk menunjukkan jenis kelamin laki- laki yang kemudian dijadikan
lawan kata ratu untuk perempuan.
Tampaknya yang bukan keturunan keluarga raja dan juga
berasal dari luar Indonesia ialah Sunan Kudus dan Maulana Malik Ibrahim.
Kedudukan para wali yang cukup tinggi
di kalangan istana dan juga darah keturunan kerajaan yang mengalir di tubuh
mereka memberikan keuntungan-keuntungan tertentu dalam penyebaran agama Islam.
Masyarakat Indonesia yang masih bersifat "feodalistis" dengan mudah
menerima ajaran-ajaran yang diberikan. Dengan demikian jumlah pemeluk agama.
Islam makin lama makin bertambah besar.
Pengaruh yang lebih besar dari
para wali tersebut terjadi karena mereka adalah pula pendiri pondok-pondok
pesantren. Santri yang datang ke pondok-pondok pesantren tersebut berasal dari
berbagai daerah. Setelah selesai pendidikan agama di pesantren para santri tadi
pulang ke tempat asalnya masing-masing. Di sana mereka menjadi penyebar agama
pula sebagai perpanjangan dari lembaga pendidikan pesantren asal. Dengan
demikian terjadi di suatu pengaruh yang berantai dari pondok pesantren yang
didirikan oleh para wali tadi.
Di samping itu para wali tadi
adalah pula pengembang kebudayaan. Sunan Kalijaga adalah salah seorang wali
yang terkenal karena mengembangkan permainan wayang untuk mengajarkan agama
Islam. Cerita mengenai Kalimasodo (yang dikasud sebenarnya ialah Kalimah
Syahadat = Syahadatin) dipercaya berasal dari Sunan Kalijogo. Demikian pula
dengan beberapa tembang Jawa. Oleh karena itu tidaklah heran HAMKA (1962: 737)
menulis Sunan Kalijaga merupakan wali yang paling dekat dalam hati para
muslimin pulau Jawa.
Di luar pulau Jawa istilah wali
tidak dipergunakan orang untuk menyebut pengajar agama Islam pada masa ini.
Istilah-istilah seperti iman, datu, dan kyai dipergunakan sebagai pengganti
istilah wali. Juga para penyebar agama Islam di luar pulau Jawa tidak
mempergunakan gelar seperti kebanyakan para wali Sanga. Meskipun demikian tidak
ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa cara penyebaran agama Islam di pulau
Jawa tidak berlaku di daerah lain di Indonesia. Pondok-pondok pesantren atau
madrasah tumbuh pula di luar pulau Jawa dan menjadi pusat-pusat pengembangan agama
Islam.
d. Peranan Bangsa Indonesia
Pengertian peranan bangsa
Indonesia di sini ialah peranan aktif yang dimainkan bangsa Indonesia dalam
proses masuk dan perkembangan bangsa Indonesia. Pertanyaan yang dapat diajukan
di sini ialah apakah dalam proses masuk dan perkembangan agama Islam di Indonesia
memegang peran utama ataukah sebagai pemegang peran tambahan yang merupakan
konsekuensi dari faktor wilayah di mana peristiwa itu terjadi? Persoalan ini
merupakan pokok bahasan dalam bagian c Kegiatan Belajar I ini.
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut kita tetap berpegang pada fase perkembangan yang kita pergunakan sebelumnya
yaitu fase masuknya dan fase perkembangan agama Islam. Penggunaan kedua fase
ini memudahkan pembahasan mengenai peranan tadi.
Peranan bangsa Indonesia dalam
masuknya Islam di Indonesia sangat tergantung dari konsepsi hipotesis yang
dianut mengenai kedatangan agama Islam di Indonesia. Dari uraian yang telah
dibahas dalam subtopik pelajaran maka terlihat bahwa jalur perdagangan
seolah-olah dilakukan hanya oleh bangsa dari luar negeri. Teori-teori tersebut
menyebutkan bahwa agama Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dari
India, Persia, atau Arab. Dengan demikian, teori-teori tersebut menggambarkan
bahwa bangs Indonesia berada dalam posisi
peperima dan bukan sebagai pemegang peran aktif dalam mengundang masuknya agama
Islam.
Apakah benar demikian? Apakah
tidak mungkin bahwa para pedaganag Indonesia berhubungan dagang dengan para
pedagang Islam. Tertarik akan ajaran tersebut dan kemudian mengundang para
pemeluk Islam untuk mengajarkan agama Islam di Indonesia? Bagaimana dengan
kedudukan para pelaut Indonesia yang sudah terkenal sejak zaman prasejarah dan
berkembang pada masa pengaruh kebudayaan India?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
mengundang kita untuk kembali melakukan kajian yang lebih cermat mengenai masa
masuknya agama Islam di Indonesia. Artinya, pertanyaan-pertanyaan tadi
menghendaki kita kembali melihat informasi-informasi yang ada kalau-kalau
dijadikan petunjuk bagi peranan bangsa Indonesia dalam memasukkan ajaran Islam
dikalangan bangsanya. Bukti-bukti yang ada harus dikaji kembali untuk
mendapatkan infomasi yang diperlukan.
Seperti dikemukakan oleh van Leur
(1960) hubungan dagang antara Indonesia dengan India telah terbuka. Bahkan
lebih lanjut ia memberikan gambaran bahwa pedagang-pedagang Indonesia telah
aktif berdagang di India Selatan. Ia (van Leur, 1960: 80) menulis:
Southern India was the trading
regional for Indonesia; the shipping to the east went especially from the southern
Indian ports. By means of that trade, whether carried on as Indonesian shipping
or through the intermediacy of Indian shipping, the Indonesian rulers and
aristocratic groups came into contact with India, perhaps seeing it with the
irown eyes. In the same sort of attempt at legitimizing their interests
involved in 'inte mat tonal trade' (in the first place vis-a-vis Indian traders
themselves), and (though this was probably of secondary importance) organizing
and domesticating their states and subjects, they called Indian civilization to
the east - that is to say, they summoned the Brahman priesthood to their
courts.
Artinya:
India Selatan merupakan daerah
perdagangan bagi Indonesia; kapal-kapal ke timur terutama berangkat dari
pelabuhan-pelabuhan di India Selatan. Melalui perdagangan tersebut, apakah
dibawa dalam perkapalan Indonesia ataukah melalui perkapalan perantara India,
para penguasa Indonesia dan para bangsawannya berhubungan dengan India bahkan
mungkin mereka datang sendiri ke India. Dalam usaha untuk menunjukkan minat mereka
dalam perdagangan internasional (paling tidak berhadapan muka dengan para
pedagangan Indian tersebut), dan (meskipun hal ini hanya merupakan alasan
kedua) dalam usaha menata dan mengendalikan pemerintahan dan rakyatnya, para
penguasa tersebut mengundang kebudayaan India ke timur-dengan kata lain, mereka
mengundang pendeta Brahmana ke istana mereka.
Apa yang dikemukakan oleh van
Leur tersebut adalah suatu usaha aktif bangsa Indonesia dalam mengundang
kedatangan Brahmana India ke Indonesia. Apakah peranan semacam itu tak mungkin
dilakukan oleh para penguasa Indonesia pada masa kemudian, yaitu pada masa
masuknya Islam ke Indonesia?
Memang seperti dikemukakan oleh
van Leur sendiri bukti-bukti yang ada sangat sukar bahkan untuk hanya membangun
suatu hipotesis sejarah. Bukti-bukti yang kita punyai, mengenai masa masuknya
Islam tidak cukup untuk membangun hipotesis yang demikian. Lagipula,
karakteristik agama Islam yang berbeda dengan agama Hindu menyebabkan kesulitan
untuk mengadakan analog antara keduanya.
Agama Hindu mengakui adanya
aturan kasta dimana kasta Brahmana memiliki monopoli dalam mengajarkan agama.
Oleh karena itu para pedagang tidak mungkin menjadi penyebar dan pengajar
agama. Dengan kata lain penguasa dan aristokrasi Indonesia yang ingin
mengetahui lebih lanjut mengenai agama Hindu harus berhubungan dengan kasta
Brahmana. Mengundang mereka ke istana merupakan cara yang dapat diperkenankan.
Lain halnya dengan agama Islam.
Adanya ajaran yang mengatakan bahwa orang hams menyebar ajaran agama memungkinkan
setiap Muslim mempunyai hak untuk melakukannya; apakah ia seorang ulama,
penguasa, atau pun pedagang. Dengan demikian, seorang penguasa Indonesia yang
ingin mempelajari mengenai agama Islam tidak perlu mendatangkan ulama secara
khusus.
Dalam fase kedua peranan bangsa
Indonesia dalam menyebarkan agama Islam tampak nyata. Dari cerita para wali
kita ketahui bahwa walaupun mempunyai darah campuran sebagian wali itu adalah
keturunan keluarga kerajaan Indonesia. Beberapa darinya bahkan sepenuhnya
adalah bangsa Indonesia. Dengan demikian peranan aktif telah dipegang oleh
bangsa Indonesia.
Bukti-bukti lain mengenai peranan
aktif itu dapat pula kita jumpai. Para pedagang Jawa berlayar sampai ke bagian
timur kepulauan Nusantara membawa serta ajaran Islam bersamanya. Mereka sambil
berdagang juga menyebabkan ajaran tersebut di daerah-daerah penghasil
rempah-rempah di Banda, Ambon dan Maluku bagian utara (Ternate dan Tidore).
Oleh karena itu van leur menamakan mereka Pedlar missionaries (pedagang yang juga menjadi misionaris).
Di Sumatera, Kalimantan, dan juga
Sulawesi serta pulau-pulau lain di Indonesia peranan aktif bangsa Indonesia
dalam menyebarkan Islam sangat menonjol. Di dalam Hikayat Banjar misalnya
diceritakan mengenai penghulu dari kerajaan Demak yang datang ke sana dan
mengajarkan agama Islam kepada Raden Samudra atau Sultan Suryanullah dan
patih-patihnya (Sartono Karodihardjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto,
1976: 117). Di Sulawesi dan
Kalimantan Timur agama Islam diajarkan oleh Dato'ri Bandang dan Dato Sulaeman.
Dalam masa-masa kemudian makin banyak orang Indonesia yang pergi ke Mekah
dan belajar agama tersebut secara lebih mendalam. Malaka di Semenanjung Melayu
juga merupakan pusat pendidikan agama Islam yang penting. Mereka ini
setelah pulang menjadi penyebar agama di tempatnya masing-masing. Aceh yang
mendapat julukan Serambi Mekah kiranya menggambarkan peranan penting daerah
tersebut sebagai pengembang agama Islam di Indonesia.
4.1.2 Latihan 1
Agar Anda menguasai materi yang
telah diuraikan kerjakan latihan di bawah ini dengan cermat, teliti, dan
sungguh-sungguh. Apabila saudara mengalami kesulitan dalam memberikan jawaban
tehadap pertanyaan dalam latihan tadi, pergunakan petunjuk yang mengikutinya
sehingga Anda dapat mengerjakan latihan ini dengan baik.
1. Mengapa
alur perdagangan laut sangat penting artinya bagi penyebaran agama Islam di
Indonesia.?
2. Apakah
jalur perdagangan tesebut terjadi pada waktu adanya pedagang Islam? Apabila ya,
mengapa? Apabila tidak, bilamana alur perdagangan tersebut dipergunakan?
3. Mengapa
proses masuknya agama Islam di Indonesia dikatakan berlangsung secara damai?
4. Teori
apa saja yang dapat Anda kemukakan mengenai proses masuknya agama Islam di
Indonesia?
Bahan Ajar
SEJARAH INDONESIA
Oleh
Prof. Dr.
Eddy Lion, M.Pd
Disusun dalam Rangka Peningkatan
Kualifikasi Serjana (S1) Kependidikan Bagi Guru dalam Jabatan
FKIP Universitas Palangkaraya
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2009/2010
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2009/2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar