Minggu, 16 Juni 2013

INDONESIA PADA ZAMAN KUNO

1. Pengantar
Dalam modul terdahulu telah dibicarakan tentang perkembangan sejarah Indonesia pada zaman prasejarah. Pada modul ini kita akan membicarakan perkembangan tersebut setelah bangsa Indonesia berhubungan dengan bangsa-bangsa lain, di antaranya dengan India dan Cina. Adanya hubungan dengan negara-negara tersebut belakangan itu telah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan bangsa Indonesia. Dengan hubungan itu bangsa kita telah mulai zaman sejarah.
Menurut bukti-bukti sejarah, hubungan antara Indonesia dengan kedua negara yang dimaksudkan itu telah berkembang sejak permulaan abad Masehi. Walaupun demikian bukti-bukti atau keterangan yang pasti belum diketahui. Banyak di antara keterangannya masih samar-samar.
Mengenai proses bagaimana penyebaran pengaruh Hindu ke Indonesia itu pun banyak menimbulkan berbagai tafsiran atau teori. Teori-teori itu berkembang dalam: teori Brahmana, teori Ksatrya, teori Waisya, dan teori Arus Balik.
Pengaruh Hindu (India) yang lazimnya disebut Hinduisme berkembang kuat di Indonesia, meliputi pandangan hidup yang bersumber kepada agama Budha dan agama Hindu dari berbagai aliran. Atas dasar sumber tersebut kebudayaan bangsa Indonesia berkembang menjadi kebudayaan Indonesia yang bercorak Hindu. Lazimnya hal tersebut dinamakan Indonesia-Hindu. Dalam kebudayaan yang bercorak demikian itu kita masih dapat membedakan mana peninggalan yang bersifat Buddhistis dan mana yang bercorak Hinduistis.
Selanjutnya dalam proses penyebaran lebih jauh, peranan bangsa Indonesia tidak dapat dikesampingkam begitu saja. Bukti kuat menyatakan bahwa peranan aktif dalam proses penyebaran pengetahuan dan agama Hindu membuka mata kita akan hal itu.
Kemudian uraian tentang kehidupan beragama (Hindu), kehidupan sosial budaya, ekonomi serta kehidupan kenegaraan akan sedikit memberikan gambaran tentang adanya pengaruh yang berkembang di Indonesia.
2. Tujuan Instruksional Umum
Setelah membaca dan menelaah modul ini Anda diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai kehidupan bangsa Indonesia pada Zaman Kuno.


3. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah membaca dan menelaah modul ini Anda diharapkan dapat:
  1. menjelaskan hubungan dagang yang terjadi antara Indonesia dengan India;
  2. menjelaskan berbagai pendapat mengenai masuknya pengaruh Hindu di Indonesia;
  3. menjelaskan persamaan dan perbedaan pengaruh Buddha dan Hindu di Indonesia;
  4. menyebutkan bukti-bukti adanya pengaruh Hindu permulaan di Indonesia;
  5. menjelaskan peranan bangsa Indonesia dalam penyebaran pengaruh Hindu dan Buddha di Indonesia;
  6. menjelaskan pengaruh Hindu dan Buddha dalam kehidupan keagamaan;
  7. menjelaskan pengaruh Hindu dan Buddha dalam kehidupan sosial-­ekonomi dan budaya;
  8. menjelaskan pengaruh Hindu dan Buddha dalam kehidupan kenegaraan dan
  9. menjelaskan pengaruh Hindu dan Buddha dalam seni bangunan.



4. Kegiatan Belajar
4.1 Kegiatan Belajar 1

HUBUNGAN INDONESIA DENGAN INDIA DAN CINA
4.1.1 Uraian dan Contoh
Kepulauan Indonesia terbentang antara dua benua dan dua samudera. Masing-masing ialah benua Asia dan Australia serta samudera Hindia dan Pasifik. Letak demikian merupakan jembatan yang sangat strategis bagi perhubungan internasional, baik pada masa dahulu maupun pada masa sekarang. Tambahan pula letak geografis Indonesia terdapat di daerah khatulistiwa, sehingga apabila dilihat dari keadaan iklim daerah kepulauan ini dari tahun ke tahun selalu dapat dilalui oleh alat transpor air. Itulah salah satu faktor yang memungkinkan lancarnya perhubungan antara Indonesia sebagai daerah kepulauan dengan negara-­negara India dan Cina. Kedua negara yang disebut terakhir itu merupakan negara-negara besar di kawasan ini pada permulaan tarikh Masehi.
Sejak zaman prasejarah, para ahli sejarah menggambarkan bahwa penduduk kepulauan Indonesia memiliki sifat-sifat dan semangat berlayar. Mereka mampu mengarungi lautan lepas dengan mernpergunakan perahu lesung bercadik, alat transportasi di laut pada waktu itu. Hubungan antara pulau dan hubungan dengan daerah pedalaman serta hubungan dengan daerah luar, menggunakan perahu lesung bercadik yang dianggap sebagai alat yang paling praktis dan khas bagi bangsa Indonesia pada masa yang telah silam.
Terdapatnya hubungan antarpulau dan hubungan dengan dunia liar ada kecenderungan merusakan hubungan perdagangan. Pada khususnya perdagangan itu terjadi karena pertukaran antara berbagai hasil daerah. Demikian pula perdagangan dalam masa ini sudah barang tentu tidak dapat diartikan sebagai perdagangan seperti kita kenal sekarang ini. Perdagangan pada waktu itu dapat diartikan sebagai pertukaran barang dengan barang yang disebut inatura.
Hubungan dagang antarpulau lambat laun berkembang menjadi perdagangan yang lebih  luas. Di atas telah dikemukakan, bahwa hubungan
antara Indonesia dengan India dan Cina telah berkembang sejak permulaan tarikh Masehi. Salah seorang sarjana Belanda bernama J.C.Van Leur mengemukakan pendapatnya bahwa perdagangan itu telah terjadi dengan dunia luar terlebih dahulu dengan negeri India. Barulah kemudian menyusul dengan negeri Cina.
Anggapan tersebut di atas tidak disertai angka-angka tahun yang pasti, kapan hubungan itu dimulai. Hal tersebut disebabkan karena sumber-sumber yang memberikan keterangan jelas tidak ada. Bahan-bahan keterangan yang didapat hanya berupa buku-buku sastra.
Beberapa buku sastra India dan buku-buku lainnya mengungkapkan keterangan yang samar-samar tentang negeri ini. Bahan-bahan tersebut berasal dari sekitar abad ke-2 Masehi, yang antara lain sebagai berikut:
1. Buku Jataka
Kitab ini ditulis oleh penulis India dan berisi ceritera yang menggambarkan tentang kehidupan sang Buddha. Di dalamnya disebutkan nama-nama negeri antara lain sebuah negeri bernama Suvannabhumi. Dalam bahasa Indonesia nama tersebut berarti negeri emas. Dari nama itu ada pula yang menafsirkan letaknya di sebelah timur teluk Benggala. Lalu kita dapat mengira, apakah nama Suvannabhumi itu identik dengan nama Suwarnabhumi. Hal itu tidak jelas, sedangkan orang sering beranggapan, bahwa Suwarnabhumi sama dengan pulau Sumatera.

2. Buku Ramayana
Buku ini pun ditulis oleh pujangga India, bernama Walmiki. Isinya menceritakan tentang kisah Rama dan Dewi Shinta. Di dalamnya menyebut­kan dua nama tempat, yaitu Jawadwipa dan Suwarnadwipa. Jawadwipa berarti pulau Jawa, sedangkan Suwarnadwipa berarti pulau Sumatera.

3. Buku Periplous tes Erythras Thalasses
Buku ini berasal dari penulis Yunani. Isinya pedoman tentang geografis pelayaran di daerah Samudera Hindia. Di antaranya disebutkan salah satu tempat bernama Chryse. Nama itu berarti emas, yang sering dihubungkan oleh para penulis sekarang dengan nama Suwarnabhumi atau Suwarnadwipa.

4. Buku Geographike Hypegesi-s
Penulis buku ini juga seorang bangsa Yunani di Iskandariah bernama Claudius Ptolomeus. Isi buku tersebut sebuah petunjuk tentang membuat peta. Di dalamnya ditemukan nama-nama tempat seperti: Argryre Chora (=negeri perak), Chryse Chora (= negeri emas) dan Chryse Chersonesos (=semenanjung emas). Selain tempat-tempat tersebut ditemukan pula dalam buku itu nama labadiou (= pulau jelai). Para ahli sejarah sering menghubmgkan nama labadiou dengan Jawadwipa, yakni pulau Jawa.
Dari keterangan tersebut di atas, baik dari para penulis India maupun dari para penulis lainnya, nama-nama tempat di kawasan bumi belahan ini, ada yang pasti dan ada pula yang samar-samar, kenyataannya telah terdaftar sebagai catatan geografis. Keterangan itu sudah barang tentu mereka dapatkan dari para pedagang yang mengadakan pelayaran dan mereka telah berlayar mengarungi belahan bumi ini.
Menurut sejarahwan Belanda, J.C. Van Leur, barang-barang yang diperdagangkan dalam pasaran internasional di Asia Tenggara pada waktu itu ialah barang-barang bernilai tinggi, seperti: logam mulia (emas dan perak), perhiasan, barang tenunan, barang pecah belah dan berbagai barang kerajinan, wangi-wangian serta obat-obatan.
Selanjutnya kita lihat sejenak bagaimana keterangan yang bersumber dari negeri Cina. Menurut perkiraan hubungan Indonesia dengan Cina pada masa itu merupakan hubungan langsung antara kedua negara. Atau dapat pula hubungan itu merupakan pelayaran yang lebih luas antara Asia Barat dengan Cina. Menurut O.W. Wolter, pelayaran dagang melalui perairan laut Cina Selatan pertama kali terjadi pada kurun waktu antara abad ke-­3 dan ke-5 tarikh Masehi. Kendatipun demikian bukti-bukti yang pasti menunjukkan bahwa pelayaran itu mulai terjadi pada permulaan abad ke-5. Hal itu dapat diikuti dalam uraian berikut:


a) Perjalanan Fa Hien
Fa Hien adalah seorang pendeta agama Buddha. Ia berlayar mengarungi perairan Asia Tenggara sepulangnya dari tempat suci agama Buddha di India. Pengalaman yang diperoleh dalam perjalanannya itu ia catat dan kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku yang diberi judul: "A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago".
Dalam catatannya ia katakan, bahwa kapal layarnya terdampar di sebuah pulau bernama ja-ra-di (=Jawadwipa) atau pulau Jawa. Ditambah­kannya pula bahwa penduduk setempat banyak yang menganut agama Brahma dan beberapa orang memeluk agama Buddha. Selain dari itu banyak orang memeluk agama berhala.

b) Perjalanan Gunawarman
Gunawarman adalah seorang pendeta Budcha. Ia mengadakan pelayaran langsung dari Indonesia ke negeri Cina. Menurut keterangan yang bersumber kepada berita Cina, Gunawarman bertolak dari sebuah tempat yang disebut Che-po. Nama tersebut sering diidentikkan dengan pulau Jawa.
Menurut O.W.Wolter, hubungan yang terjadi antara Indonesia dengan Cina tidaklah selalu dalam hubungan dagang. Tetapi juga hubungan tersebut terjadi dalam hal yang bersifat keagamaan. Hal itu terbukti seperti dikemukakan dalam salah satu surat yang disampaikan kepada kaisar Cina yang isinya berupa penghargaan kepadanya. Penghargaan itu berisikan pujian karena kaisar telah berjasa dalam pengembangan agama Buddha.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan, bahwa sebelum abad ke-5 bangsa Indonesia telah memasuki percaturan dunia perdagangan dengan bangsa Cina di daratan Asia. Adapun barang-barang yang diperdagangkan antara lain berupa: kemenyan, kayu cendana, kapur barus, rempah-rempah, bermacam-macam hasil kerajinan dan binatang.



4.2 Kegiatan Belaiar 2
PROSES PENYEBARAN PENGARUH HINDU
4.2.1 Uraian dan Contoh
Kita sudah mendengar perkataan "Hindu". Perkataan tersebut lazim diidentikkan dengan nama India, yaitu sebuah negara yang terletak di kawasan Asia Selatan. Pada suatu masa kawasan Nusantara ini dipengaruhi kebudayaan India, yang lazimnya disebut kebudayaan Hindu. Dalam pengertian Hindu itu di dalamnya termasuk pula pengaruh agama Buddha, bahkan pada suatu ketika kedua agama itu pernah berkembang dalam suatu bentuk yang disebut sinkretisme yakni yang disebut agama Siwa-Buddha. Nah, sebelum berbicara terlampau jauh, marilah kita menyimak seperlunya, yaitu bagaimana masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia itu? Berdasarkan kenyataan pengaruh tersebut tertanam sangat kuatnya di kalangan masyarakat Indonesia.
Berbagai pendapat telah banyak diperdebatkan tentang proses penyebaran pengaruh Hindu ke Indonesia. Dari berbagai pendapat tersebut timbullah bermacam-macam teori, yang apabila dikelompokkan teori tentang penyebaran pengaruh tersebut dapat dibagi dalam dua bagian. Satu pihak berpendapat, bahwa penyebaran itu dilakukan oleh orang-orang India. Pihak kedua beranggapan bahwa orang-orang Indonesia tidak dapat diabaikan. Peranan aktif dalam hal ini dipegang oleh orang-orang Indonesia.
Pada kelompok pertama beberapa sarjana mengajukan teori masing­-masing.
Prof. Dr. N.J. Krom mengemukakan, bahwa tanah Indonesia dulu pernah menjadi tempat pengungsian dan pembuangan orang-orang India. Di India pada permulaan tarikh Masehi sering terjadi pergolakan politik dan terjadi peperangan. Akibat kejadian itu banyak orang India meninggalkan negerinya untuk menyelamatkan diri. Di antara mereka banyak yang sampai di Indonesia. Selain mereka itu banyak pula tawanan perang dipaksa meninggalkan negerinya. Mereka pun mengungsi ke Indonesia. Kedua pengungsi tersebut kemudian menetap di pantai perairan Indonesia dan membentuk kesatuan masyarakat tersendiri. Lama-kelamaan di tempat pemukiman itu mereka mendirikan pusat kebudayaan Hindu. Maka lahirlah kebudayaan Hindu di Indonesia. Dari pusat yang baru itu kebudayaan Hindu kemudian menyebar luas ke beberapa tempat di Indonesia.
Oleh para ahli pendapat N.J. Krom tersebut di atas dikenal dengan sebutan Teori Ksatria. Nama tersebut pada mulanya diberikan oleh FDK Bosch.
Ada kelemahan teori N.J. Krom, seperti terurai di atas, yaitu:
Dalam kenyataannya beberapa bukti menunjukkan, bahwa yang digunakan dalam prasasti-prasasti Sanskerta. Hal ini bertentangan dengan bahasa yang digunakan oleh orang kebanyakan di India. Mereka memakai bahasa Prakerta, bukan bahasa Sanskerta. Sedangkan bahasa Sanskerta hanya diketahui oleh golongan pendeta atau brahmana. Bahasa pengungsi dan bahasa orang-orang buangan juga bahasa Prakerta. Itulah sebabnya teori N.J. Krom dianggap kurang sesuai dengan bukti-bukti dalam prasasti.
Sehubungan dengan proses penyebaran pengaruh India itu, N.J. Krom mengajukan teori lain, yang kemudian dikenal dengan nama teori Waisya. Teori ini mengemukakan, bahwa golongan pedagang India (=Waisya) sangat berperan dalam proses penyebaran kebudayaan petualangan dan pelayaran, hingga mampu menjangkau perairan dan pantai-pantai di Indonesia. Sebagian kelompok pedagang, mereka banyak bergaul dan bercampur dengan masyarakat setempat. Bahkan mereka banyak yang melakukan perkawinan, sehingga lama-kelamaan muncullah masyarakat campuran yang bersifat Indonesia-Hindu. Berpangkal dari masyarakat ini, kebudayaan yang mereka miliki dapat menyebar lebih luas lagi, baik terhadap orang-orang secara individual maupun terhadap masyarakat lainnya.
Teori Waisya ini pun bukan tidak mengandung kelemahan, walaupun pendapat tersebut mendapat dukungan dari Prof. Dr. Ng. Purbacaraka. Dalam tulisannya Prof. Purbacaraka mengemukakan, bahwa para pedagang yang diutarakan oleh Krom itu berdatangan dari daerah Tamil dan Pallawa. Kedua tempat tersebut di India Selatan. Selain bahasa Prasasti ditulis dalam huruf Pallawa, juga dalam pergaulan dunia perdagangan di tanah ini banyak dikenal istilah yang berasal dari bahasa Tamil. Istilah-istilah itu antara lain: tunai, kedai, nilai, materai dan kodi. Menurut Purbacaraka, kata-kata tersebut dimasukkan oleh para pedagang yang berbahasa Tamil. Mereka adalah orang-orang Tamil yang berdagang dengan orang-orang Indonesia.
Adapun kelemahan teori Waisya seperti dikemukakan para ahli, ialah bahwa para pedagang dari India jangkauan perjalanannya terbatas, mereka hanya sampai di daerah pantai, sehingga daerah persebaran pengaruh India hanya sampai di daerah pantai. Akan tetapi kenyataan menunjukkan lain, daerah tempat peninggalan berupa prasasti dan candi serta peninggalan-peninggalan Hindu lainnya kebanyakan justru terdapat di daerah pedalaman, bahkan di daerah pegunungan sekalipun. Hal inilah yang, tidak memungkinkan kemampuan orang-orang pedagang untuk menyebarluaskan kebudayaan Hindu, karena kemampuan mereka terbatas.
Kemudian seorang sarjana India, R.C. Majumdar, dalam kelompok ini mengernukakan pendapatnya, bahwa penyebar pengaruh Hindu ke Indonesia itu ialah orang-orang dari golongan (kasta) Ksatria. Golongan (kasta) ini terdiri dari raja-raja dan kaum bangsawan. Karena para penyebarnya dari golongan tersebut, maka para ahli menyebut teori ini teori Ksatria.
Menurut pendapat tersebut, para raja dan bangsawan India suka sekali mengembara dan menaklukkan daerah-daerah di luar India. Mereka sampai pula di Indonesia untuk melakukan kegiatan yang serupa. Di Indonesia mereka menanamkan kekuasaannya di beberapa daerah.
Dalam batu prasasti banyak disebutkan tentang nama-nama raja dalam bahasa atau nama Sanskerta. Nama-nama tersebut antara lain: Mulawarman, Purnawarman, Sanjaya, Sailendra dan sebagainya. Hal tersebut menunjuk­kan bahwa raja-raja yang berkuasa di Indonesia berasal dari India. Demikianlah pandangan teori Ksatria.
Teori tersebut di atas ini pun tidak luput dari kelemahan. Para kritikan terhadap paham/teori tersebut mengemukakan keberatan. Mereka mengatakan bahwa sampai sekarang tidak ditemukan bukti yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia pernah dijajah oleh India. Tambahan pula apabila peengaruh India masuk di Indonesia yang disebabkan karena penaklukan, maka pertumbuhan budayanya tentu akan berlainan dengan peninggalan-­peninggalan yang ada. Di Indonesia pengaruh kebudayaan India tidak menonjol dan tidak membendung perkembangan budaya asli. Sebaliknya dari beberapa kenyataan menunjukkan, bahwa unsur-unsur kebudayaan daerah sangat mengesankan walaupun dalam bentuk perpaduan yang kemudian dinamakan kebudayaan Indonesia-Hindu.
Dalam pada itu J.C. Van Leur berpendapat, bahwa golongan Brahmanalah yang mempunyai peranan dalam proses penyebaran itu. Teori beliau disebut sebagai teori Brahmana. Menurut anggapannya kaum Brahmana India, yang mempunyai monopoli religius, telah datang ke Indonesia atas undangan para datu atau kepala suku. Para datu ingin memperoleh kedudukan yang sejajar dengan para raja India. Mereka ingin mendapat pengakuan dari raja-raja India. Maka untuk mencapai keinginan demikian itu, para kepala suku menganggap haruslah diadakan penobatan atas dirinya oleh kaum Brahmana tersebut.
Selain dari itu orang Indonesia mengetahui dari berbagai informasi, bahwa kaum Brahmana selain menguasai seluk-beluk keagamaan, juga mengetahui dan mahir akan organisasi pemerintahan (kerajaan). Oleh karena itulah para datu merasa perlu mengundang dan mendatangkan mereka dari negeri itu.
Teori Brahmana seperti dikemukakan di atas dalam kenyataannya memang banyak mengandung kecocokan. Misalnya dapat kita lihat, bahasa yang digunakan dalam prasasti pada umumnya ditulis dalam bahasa Sanskerta. Bahasa ini memang dapat dikatakan milik kaum Brahmana, karena hanya merekalah yang menguasai bahasa tersebut. Di luar golongan ini, pada umumnya hanya menguasai bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu bahasa Prakerta. (Selain ciari itu dalam prasasti seringkali disebut tentang pemberian hadiah terhadapnya sebagai tanda jasa dari raja). Hadiah tersebut tentu sebagai imbalan atas peranan Brahmana dalam upacara penobatan raja serta penasihat raja dalam menjalankan tata pemerintahan yang disesuaikan dengan sistem kerajaan. Dalam pembangunan tempat peribadatan seperti pendirian candi, stupa, lingga dan lain-lain, peranan Brahmana tidak kurang penting artinya. Mereka dapat memberikan tuntunan dan petunjuk kepada para seniman Indonesia berdasarkan buku pedoman membuat candi dan arca yang disebut buku Cilpasastra. Tanpa petunjuknya para seniman Indonesia tentu akan mendapat kesulitan dalam menelaah isi buku, karena buku itu ditulis dalam bahasa Sanskerta.
Pada kelompok kedua dalam uraian ini akan ditampilkan dua orang sejarahwan, masing-masing adalah:
Pertama, George Coedes seorang sejarahwan Perancis. Dalam karangannya beliau mengemukakan teori, bahwa setelah terjadi jalinan dagang antara Indonesia dengan India banyak pedagang Indanesia melawat ke India. Mereka mendatangi tempat-tempat penting baik di India Selatan maupun di India Utara. Tempat-tempat itu ialah pusat-pusat pengetahuan dan kebudayaan India. Sekembalinya dari India kemudian mereka mengajar dan menyebarkan ilmunya itu kepada orang Indonesia di negeri ini.
Kedua, Dr. F.D.K. Bosch seorang sejarahwan Belanda penganut Teori G. Coedes. Dalam karangannya sarjana ini memperkuat pendapat Coedes tersebut di atas. Dikemukakannya, bahwa pada suatu ketika banyak pemuda Indonesia menuntut ilmu di India, terutama di pusat kebudayaan tadi, yaitu Nalanda di Benggala. Mereka di tempat tersebut mempelajari pengetahuan agama dan yang bertalian dengannya, antara lain belajar membuat arca dan juga mempelajari cara mendirikan candi.
Setelah bertahun-tahun lamanya berada di India, para pemuda itu kembali ke Indonesia. Tentunya selain mereka telah menjadi lulusan perguruan di Nalanda, juga mereka memiliki pengetahuan sebagai seniman-­seniman yang beraliran India. Di Indonesia pengalaman dan pengetahuan itu mereka sebarkan kepada kaumnya. Mereka di samping mengajar juga membangun tempat-tempat peribadatan. Itulah sebabnya berbagai seni bangunan dan seni arca di Indonesia banyak mengandung berbagai seni atau unsur seni India. Hal tersebut dapat dilihat dalam bangunan candi dan buku-buku sastra yang termasuk golongan tua.
Bosch mengakui pula, bahwa peranan kaum Brahmana dalam proses penyebaran pengaruh India itu cukup besar. Akan tetapi suatu hal yang tidak dapat dikecilkan arti peranannya bagi orang-orang Indonesia ialah keaktifan dalam usaha menyebarluaskan unsur-unsur pengetahuan yang baru itu. Karena peranannya yang demikian itu, baik teori Coedes maupun Bosch itu dipandang berlawanan dengan teori-teori terdahulu. Maka dari teori Bosch yang sangat menarik itu dinamakan Teori Arus Balik.




4.3 Kegiatan Belajar 3
PERBEDAAN BUDDHISME DAN HINDUISME

4.3.1 Uraian dan Contoh
Dari bukti-bukti sejarah dapat diketahui, bahwa pengaruh India yang masuk ke Indonesia tidak berasal dari satu tempat di India, akan tetapi berasal dari berbagai tempat. Pada uraian di atas telah disebutkan beberapa tempat yang dimaksudkan, seperti: Pallawa, Tamil, Benggala, Nalanda dan lain-ain. Sehubungan dengan hal tersebut aliran agama yang memasuki Nusantara ini pun tidak hanya satu macam saja. Yang jelas di dalam pengaruh India itu terdapat agama Buddha, pengaruhnya disebut Buddhisme. Ada pula agama Hindu, pengaruhnya disebut Hinduisme. Kadang­-kadang dari keduanya itu kita menyebut Hinduisme. Dalam hal yang dua itu pula, tidak diketahui dengan pasti pengaruh yang manakah terdahulu datang di Indonesia. Namun demikian keduanya telah dikenal di negeri ini pada masa permulaan abad Masehi.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah itu, agama yang paling banyak dianut, mula-mula agama Hindu. Walaupun mungkin pada waktu yang bersamaan agama Buddha pun telah masuk di Indonesia. Akan tetapi pada waktu itu agama Buddha belum berkembang. Bukti-bukti tersebut dapat diungkapkan, bahwa raja-raja terdahulu yang berkuasa di kerajaan Kutai dan Tarumanegara ialah pemeluk agama Hindu.
Dalam perkembangan sejarahnya, kedua agama tersebut di atas terus mengembangkan sayapnya secara bergantian. Sesuai dengan penampilan para penguasa kerajaan, kedudukan agama pun saling bergantian menjadi agama yang paling penting dalam negara. Perkembangan agama yang saling bergantian itu tidak menunjukkan pertentangan yang rawan di bumi Indonesia. Bahkan pada perkembangan lebih lanjut, pada abad ke-13 kedua agama itu pernah berkembang menjadi satu aliran kepercayaan dalam bentuk sinkretisme, yaitu sink.retisme agama pada masa pemerintahan raja Kertanegara dari Singasari dan raja Adityawarman dari kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat.
Dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan, bahwa dengan masuknya pengaruh India ke Indonesia, maka kebudayaan bangsa Indonesia telah mengalami suatu perubahan besar. Perubahan tersebut tidak saja hanya mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, akan tetap, juga menyebabkan timbulnya perubahan dalam susunan atau tata masyarakat baru. Selain dari itu perubahan terjadi juga dalam alam pikiran, penghidupan dan adat kebiasaan, yang secara keseluruhan terjadi perubahan dalam bidang kebudayaan.
Untuk mengetahui corak dan sifat kebudayaan Indonesia yang berkembang karena pengaruh kedua agama itu, maka ada baiknya kita lihat sepintas kilas gambaran tentang perbedaan antara agama Buddha dan agama Hindu.

a. Agama Buddha
Istilah Buddha semula berarti sebutan terhadap seseorang yang telah memperoleh penerangan agung, yaitu orang yang telah mendapat wahyu. Ia telah menyadari akan arti hidup dan ia telah memperoleh jalan untuk melepaskan diri dari hukum karma.
Dalam kepercayaan sebelumnya dinyatakan, bahwa hidip itu berlang­sung berulang kali. Setelah seseorang meninggal, ia akan hidup kembali dalam wujud lain. Wujud itu ditentukan oleh sifat dan status serta perbuatan pada masa sebelumnya yang disebut karma. Hukum karma itu karenanya berwujud lain sebagai siksaan yang disebut samsara. Maka setiap orang dalam hidupnya berusaha menghindarkan diri dari samsara. Ia berusaha melepaskan diri dari hukum karma, agar ia menjadi sempurna. Dengan demikian ia tidak lagi akan dilahirkan lagi ke dunia yang fana ini, karena ia telah lepas dari samsara. Artinya ia telah mencapai nirwana atau surga.
Orang yang telah mendapatkan wahyu tersebut, ialah Sidharta Gautama, putera raja Sudhodana dari Kapilawastu. Wahyu tersebut diperolehnya setelah Sidharta melakukan samadi (bertapa) di bawah pohon bodhi. Maka sejak itulah Sidharta menjadi Sang Buddha. Sebagai sang Buddha ia sering mengajarkan ajarannya yang berupa wahyu tadi kepada para pengikutnya. Ajarannya berpokok kepada dua hal yang disebut Aryasatyani dan Pratityasamutpado. Kedua hal pokok tersebut merupakan jalan untuk mencapai nirwana.
Adapun Aryasatyani yang berarti kebenaran utama itu berisikan empat masalah pokok, yaitu:
1)      Hidup itu sengsara (menderita)
2)      Penderitaan itu disebabkan orang memiliki kehausan akan hidup yang disebut Tresna.
3)      Penderitaan dapat dilenyapkan dengan jalan menghilangkan kehausan itu (Tresna)
4)      Tresna dapat dihilangkan pula dengan jalan menempuh jalan yang benar. Jalan tersebut dinamakan astawidha (The eight paths).


Astawidha ialah:
a.       pemandangan atau ajaran yang benar
b.      niat atau sikap yang benar
c.       perkataan yang benar
d.      tingkah laku yang benar
e.       penghidupan atau mata pencaharian yang benar
f.        usaha yang benar
g.       perhatian yang benar
h.       samadi yang benar.
Adapun yang disebut Pratityasamutpada ialah rantai sebab akibat, yang terdiri dari 12 hal berangkai. Masing-masing hal merupakan akibat dari hal terdahulu. Apabila semua hal yang berantai itu telah dapat ditiadakan atau dilenyapkan, maka seseorang telah mencapai suatu tingkatan kesempurnaan yang disebut Arhat. Seseorang dikatakan telah mencapai Arhat berarti ia telah mencapai nirwana. Ia tidak akan dilahirkan kembali dan telah lepas dari samsara.
Dalam perkembangan di Indonesia agama Buddha berkernbang dalam dua mazhab. Masing-masing dinamakan mazhab Hinayana, yang berarti kendaraan kecil. Para anggota agama Buddha disebut sangha.
Para pengikut agama Buddha paham kendaraan kecil ini hanya terdiri para bhiksu atau bhiksumi. Mengingat keanggotaan yang terbatas itulah mazhab kendaraan kecil bernama demikian. Mazhab ini sering disebut dengan nama lain, yaitu Nirwanayana. Mazhab kedua disebut Mahayana. Keanggotaannya lebih besar jumlahnya. Aliran ini tidak lagi membatasi keanggotaan seperti pada aliran Hinayana, akan tetapi seluruh pemeluk agama Buddha termasuk sebagai sangha. Cita-citanya tidak lagi hanya untuk mengecap kenikmatan bagi kelompok tertentu, melainkan untuk semua pemeluk agama tersebut. Siapa pun dapat melepaskan diri dari samsara. Maka karena keanggotaamya yang demikian itu mazhab ini disebut pula kendaraan besar.
Perbedaan lain yang perlu diketahui antara lain aliran (mazhab) tersebut di atas dalam hal pendewaan. Mazhab Hinayana menganggap bahwa para Buddha yang dipuja sebagai dewa itu jumlahnya terbatas, sedangkan pada mazhab Mahayana lebih besar. Baik para Buddha maupun para Bodhisatwa, yaitu calon Buddha, dipuja juga sebagai dewa.



b. Agama Hindu
Berlainan dengan agama Buddha, agama Hindu sebenarnya berpangkal pada alam pikiran yang telah berakar sebelumnya. Jauh sebelum agama Buddha lahir, telah berkembang alam pikiran yang bersumber kepada kitab Weda, Brahmana, dan Upanishad. Pada masa agama Buddha berkembang, atau pikiran yang bersumber kepada kitab-kitab tersebut mengalami masa suram, tetapi hidup terus (survive) berdampingan dengan agama Budha.
Pada saat agama Buddha mulai menular, alam pikiran tadi mulai mendesaknya mempengaruhi para pemeluknya. Pikiran-pikiran yang berdasarkan filsafat Weda, Brahmana dan Upanishad yang abstrak diwujudkan menjadi suatu sistem pemujaan yang bersifat konkret, yaitu pemujaan terhadap para dewa. Para dewa diwujudkan dalam bentuk patung, yaitu patung perwujudan yang biasanya digambarkan sebagai raja atau pertapa (Stutluheim, Sejarah Kebudayaan Indonesia, jilid I, Djakarta, 1953, hal. 79). Pemujaan terhadap patung ini menjadi suatu corak khusus. Agama yang demikian ini disebut agama Hindu.
Agama Hindu pada dasarnya terdiri dari campuran berbagai agama asli, yaitu Weda, Upanishad, Brahmana dan bahkan agama Buddha pun mempengaruhinya. Dalam agama Hindu dikenal tiga dewa utama yang disebut Trimurti. Masing-masing ialah dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencipta dewa Brahma berusaha mengatur segala peristiwa di dunia. Kemudian dikenal dewa Wishnu. Wishnu dewa yang pengasih, ia sering bertindak sebagai penolong atau pembebas dari segala malapetaka. Dalam pandangan para pengamatnya, dewa Wishnu sering menjelma sebagai makhluk yang melepaskan dunia dari segala kejahatan dan mara bahaya. Maka dari itu dewa Wishnu dianggap sebagai salah satu dewa yang terpenting. Dalam penjelmaannya ia sering digambarkan antara lain sebagai Rama dalam cerita Ramayana dan sebagai Kresna dalam cerita Mahabarata.
Dewa yang ketiga dalam Trimurti ialah Siwa. Ia dianggap sebagai dewa yang paling dahsyat karena tugasnya, yaitu sebagai dewa yang menguasai kematian dan pembinasa. Pada umumnya Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi. Dalam status dernikian ia diberi nma Mahadewa, ialah yang dianggap paling berkuasa dan ditakuti sehingga menyebabkan banyak orang meminta dan memohon kemurahan padanya. Walaupun demikian, Siwa banyak melakukan perbuatan yang menyebabkan banyak orang berterima kasih kepadanya. Siwa sering dilambangkan dalam bentuk lingga, disatukan dengan Yoni, lambang saktinya (istrinya), yakni dewi Durga sebagai dewi kematian.
4.3.2 Latihan 3
1)      Coba Anda diskusikan dengan teman belajar Anda:
a.       Apakah Hinduisme itu?
b.      Apakah perbedaan antara istilah Hindu dan India?
2)      Di dalam penerapan pengaruh Hindu di Indonesia berbeda dengan di negeri asalnya. Mengapa demikian?
3)      Apakah perbedaan antara Hindunisasi dengan Indianisasi?
4)      Mengapa antara agama Buddha dan Hindu di Indonesia dapat bersatu? Kapan hal itu terjadi?
5)      Coba Anda kemukakan perubahan apa yang telah terjadi di kawasan kita setelah pengaruh Hinda masuk? Bagaimana dan apa kemungkinan­-kemungkinannya apabila hal tersebut terjadi?


4.4 Kegiatan Belajar 4

BUKTI-BUKTI PENGARUH HINDU

4.4.1 Uraian dan Contoh
Untuk mengetahui dan membenarkan ada atau tidak ada pengaruh Hindu di Indonesia akan dapat dilihat dari berbagai bukti. Bukti-bukti itu terutama berupa Patung, Prasasti, Bangunan, dan Kesusastraan (Sastra).

a . Patung atau Area
Berdasarkan hasil penelitian para ahli, di desa Sempaga, di Sulawesi Selatan terdapat peninggalan tertua berupa sebuah patung. Patung tersebut berupa patung Buddha. Para ahli beranggapan bahwa patung Buddha di Sulawesi Selatan itu merupakan patung tertua yang pernah didapatkan di Indonesia.
Gambar sebuah Patung Buddha
Menurut para ahli pula, patung Buddha dari Sulawesi Selatan itu berasal dari sekitar abad ke-3 Masehi. Ketentuan yang lebih pasti kapan patung tersebut dibuat tidak diketahui. Mengapa pula patung itu ada di tempat tersebut, tidak diketahui. Paling tidak daerah itu telah kena pengaruh Hindu, khususnya pengaruh agama Buddha. Patung itu dipergunakan oleh masyarakat sebagai benda persembahan untuk bangunan suci agama Buddha.
Area atau patung yang sejenis dengan area tersebut di atas ditemukan pula di daerah Jember (Jawa Timur) dan Bukit Siguntang (Sumatera Selatan). Bahkan di daerah Kalimantan Timur, tepatnya di daerah Kutai ditemukan pula sejumlah area Buddha.


b. Prasasti
Pengaruh Hindu telah menyebar di sebagian besar kepulauan ini. Selain patung-patung seperti disebutkan, pada uraian di atas, banyak didapatkan pertulisan pada batu. Lazimnya pertulisan pada batu itu disebut prasasti.
Prasasti pada layaknya dibuat atas perintah raja yang sedang berkuasa. Banyak prasasti dibuat di Indonesia yang isinya sesuai dengatt keperluannya, yaitu untuk apa prasasti itu ditulis atau dipahat. Sesuai pula dengan di tempat mana prasasti itu berada atau ditemukan, maka lahirlah nama-nama prasasti. Kalau tidak demikian, nama prasasti diberikan pula sesuai dengan nama raja seperti termuat dalam prasasti yang bersangkutan.
Sebagai contoh kita mengenal nama prasasti Ciaruteun. Nama tersebut menunjukkan nama tempat atau daerah yaitu Ciaruteun tempat berdiri batu prasasti yang dimaksudkan. Selain bernama Ciaruteun disebut pula dengan nama prasasti Purnawarman. Nama yang disebut belakangan, yakni Purnawarman ialah nama raja yang disebut dalam prasasti. Dialah yang memerintahkan agar prasasti Ciaruteun itu dibuat.
Prasasti-prasasti tertua di Indonesia ditulis dengan aksara atau huruf Pallawa. Nama Pallawa adalah sebuah kerajaan di India Selatan. Bahasanya ialah bahasa Sanskerta. Bahasa tersebut lazim dipakai sebagai bahasa buku-buku suci (Weda, Upanishad, dan lain-lain) di India. Dari kedua hal tersebut jelas menunjukkan bahwa dalam hal baca-tulis pengaruh India jelas tersebar sampai di Indonesia.
Prasasti yang tergolong tua dengan pemakaian huruf dan bahasa seperti tersebut di atas antara lain: prasasti Kuta, atau prasasti Mulawarman di Kalimantan Timur (dari abad ke-4); prasasti Ciaruteun atau prasasti Purnawarman (dari abad ke-5) di Jawa Barat prasasti Canggal atau prasasti Sanjaya (dari abad ke-8) di Jawa Tengah dan prassasti Dinaya atau prasasti Gajayam (dari abad ke-8) di Jawa Timur. Sedangkan prasasti Kedukan Bukit atau prasasti Sriwijaya (dari abad ke-7) di daerah Jambi. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno.
Masih banyak prasasti lainnya yang ditulis kemudian tersebar, di berbagai tempat di Jawa dan Sumatera. Huruf dan bahasanya berbeda ada yang ditulis dalam huruf Kawi (Jawa Kuno) atau Sunda Kuno dan bahasanya menjadi bahasa Jawa Kuno, Sunda Kuno.
Selain huruf yang telah diutarakan, di Jawa Tengah terdapat pula prasasti yang ditulis dalam huruf Dewa Zagin (dari India Utara). Seperti kita kenal prasasti Kalasan di Jawa Tengah.


c. Bangunan
Pengaruh Hindu meninggalkan bukti-bukti berupa bangunan kuno. Bangunan-bangunan itu umumnya berupa candi. Ada yang masih berdiri dengan utuh, ada pula bangunan berupa bekas-bekas yang batunya berserakan belum disusun kembali.
Salah sebuah bangunan tertua yang berupa candi, menurut Prof. Dr. N.J. Krom terdapat di daerah pegunungan Dieng di Jawa Tengah bagian Utara. Sesuai dengan jumlah candi yang didapatkan, daerah tersebut sering disebut kompleks percandian Dieng. Menurut pendapatnya, pada zaman berkembangnya pengaruh Hindu daerah Dieng didominasi menjadi pusat kegiatan orang-orang yang beragama Hindu pemuja Siwa. Hal itu dikatakan dengm kenyataan, bahwa bangunan-bangunan candi yang terdapat di dataran tinggi tersebut seluruhnya bersifat agama Siwa.
Berdasarkan prasasti yang didapatkan di kompleks percandian Dieng, prasasti tertua berangka tahun 809 Masehi, maka kemungkinan besar daerah percandian tersebut telah berkembang sejak permulaan abad ke-9, akan tetapi nama-nama candi yang sekarang dikenal menurut Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto baru diberikan kemudian, mungkin sekali pada abad ke-18. Nama-nama itu dikenal masing-masing ialah: candi Bima, candi Puntadewa, candi Arjuna, candi Semar, candi Nalagareng, candi Gatotkaca dan lain-lain. Dari nama-nama tersebut kita dapat memahami, bahwa bangunan candi yang terdapat di kompleks ini ialah bangunan Suci yang menghormati agama Hindu. Nama-nama candi diambil dari buku Baratayuda atau Mahabarata.
Selain bangunan candi yang bersifat Hindu di Jawa Tengah bagian Selatan berkembang bangunan candi yang bersifat agama Buddha. Bangunan-­bangunan suci didirikan untuk pempjaan atau menghormati kebesaran agama Buddha. Dari bangunan yang bersifat Buddhistis dan termashur ialah candi Borobudur. Candi ini didirikan pada kwartal pertama abad ke-9, pada masa memuncaknya kekuasaan kelmqrga Sailendra. Raja-raja Sailendra beragama Buddha. Peninggalan lainnya berupa candi Mendut, Pawon, Kalasan, Sajiwan, Sewu dan lain-lain. Semuanya terletak di sekitar kota Yogyakarta sekarang.
Masih banyak peninggalan bangunan lainnya. Semuanya tersebar di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera bagian Selatan. Di Jawa Timur berdiri candi Kidal berasal dari abad ke-13. Candi ini bersifat agama Siwa (Siwaistis). Candi Jago yang bersifat dualistis (yaitu Buddhistis dan Wishnuistis) dibangun pada abad ke-13 juga. Kemudian contoh lain yang penting dari Jawa Timur ialah candi Singhasari. Candi ini bersifat Siwa-Buddha sesuai dengan nama raja yang dimakamkan di dalamnya, yaitu raja Kertanepara. Pada uraian terdahulu telah diungkapkan, bahwa agama Hindu dan Buddha di Indonesia pernah berkembang menjadi satu dalam bentuk sinkretisme. Maka sinkretisme agama-agama tersebut yang dianut oleh mendiang Kertanegara diabadikan dalam candi Singhasari ini.
Tidak dapat dikesampingkan bukti-bukti bangunan lainnya di Jawa Timur. Selain candi Panataran dan candi Bajang Ratu, candi Brahu, candi Tikus, candi Sukuh, candi Cela, masih terdapat bangunan kuno berupa pemandian seperti Watu Gede dan Jalatundra di lereng gunupg Penanggungan .
Di Jawa Barat walaupun sangat terbatas peninggalan berupa pengaruh Hindu terdapat candi Cangkuang di Leles. Di Gunung Sagarahyang (Kuningan) peninggalan berupa Lingga dan di bukit Kebuyutan daerah Indihyang juga terdapat peninggalan berupa Lingga dan Yoni. Kedua peninggalan berupa pengaruh Hindu pemuja Siwa.
Di Sumatera Selatan banyak ditinggalkan bangunan candi yang bersifat Buddhistis. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peninggalan-­peninggalan bangunan Buddhistis, seperti candi Muara Takus dekat Pekan Baru dan candi Biaro Bahal dekat Padangsidempuan.
Di pulau Bali sampai sekarang berkembang agama Hindu-Bali atau disebut pula Hindu-Dharma. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya pengaruh Hindu yang mulai tertanam di Indonesia sejak mana Mulawarman, bahkan sebelumnya, masih hidup terus (survive) dan lestari di pulau Bali.
Dalam bidang seni sastra, banyak ceritera dari berbagai bentuk. Dalam hal tersebut kesusastraan zaman pengaruh Hindu mengenal dua bentuk atau jenis karangan, yaitu karangan yang berbentuk puisi disebut tembang dan karangan yang berbentuk prosa disebut gancaran. Kedua jenis atau bentuk kesusastraan tersebut sudah barang tentu memperkaya dan memperindah cerita-cerita lisan yang telah hidup sebelumnya di Indonesia.
Di kalangan istana kesusastraan tersebut di atas sangat digemari. Dalam perkembangannya yang subur itu lahirlah apa yang dalam sastra kuno disebut kakawin, yaitu Tembang Jawa Kuno. Perkataan kakawin berasal dari bahasa Sanskerta yaitu kawya artinya pujanpga. Sastra Kuna Kakawin itu ditulis oleh para pujangga Indonesia di atas daun lontar. Sampai sekarang kepandaian menulis pada daun lontar masih merupakan tradisi bagi orang Bali.
Beberapa contoh kakawin yang terkenal di zaman pengaruh Hindu antara lain:
1.    Arjunawiwaha, karangan Mpu Kanwa, ditulis kira-kira pada abad ke‑11, yaitu pada masa pemerintahan raja Airlangga, (1035 - 1047).
2.    Bharatayuddia, karangan Mpu Sedah dan Panuluh, ditulis pada abad ke-12, yaitu masa pemerintahan raja Jayabhaya (1135 - 1137).
3.    Nagara Kertagama, karangan Mpu Prapanca, ditulis pada abad 14 yaitu pad-a masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (1334 - 1374).
Masih banyak lagi hasil-hasil kebudayaan sebagai bukti adanya pengaruh India. Semuanya dapat dikatakan telah mencapai mutu tinggi berkat perpaduan antara kebudayaan Incbnesia asli dengan pengaruh Hindu tersebut. Dalam hal ini dapat ditambahkan antara lain, seni wayang yang mengambil babon ceritera dari buku pahlawan (epos) Mahabarata dan Ramayana India, seni gamelan, seni keris serta senjata-senjata lainnya. Selain dari itu dalam seni hias, seni pakaian, perhiasan, seni tari, seni ukir, seni pahat, dan lain-lain banyak dipengaruhi oleh seni Hindu.

4.4.2 Latihan 4

Coba Anda diskusikan dengan teman kelompok belajar Anda. Apabila tidak mendapat keputusan dalam pembicaraan, Anda dapat tanyakan kepada tutor Anda.
1)      Hal-hal apa saja yang dapat memberi petunjuk tentang adanya pengaruh Hindu di Indonesia?
2)      Petunjuk apa yang menyatakan paling dahulu antara pengaruh Buddha dan Hindu adanya di Indonesia?
3)      Manakah yang paling tua di antara dua prasasti, yaitu prasasti Kutai dan Taruma? Dari mana Anda mengetahui hal itu?
4)      Bangunan candi di daerah Dieng didirikan oleh orang-orang yang memeluk agama Siun. Mengapa demikian?
5)      Candi Singhasari di Jawa Timur didirikan untuk pemakaman raja Kertanagara. Melihat keagamaannya candi itu bersifat Siwa-Buddha, yaitu sinkretisme antara agama Siwa dan agama Buddha.
a.    Apakah latar belakangiya demikian?
b.    Apakah pula latar belakang terjadinya sinkretisme itu?


4.5 Kegiatan Belaiar 5
PERANAN BANGSA INDONESIA DALAM MENERIMA PENGARUH HINDU

4.5.1 Uraian dan Contoh
Pada pembicaraan yang lalu telah diutarakan hal-hal yang berhubungan dengan proses penyebaran pengaruh Hindu ke Indonesia. Selain para pedagang juga kaum ulama atau brahmana turut aktif di dalam kegiatan itu.
Namun demikian proses kegiatan tersebut tidak dapat hanya dipandang dari kaca mata sebelah, yaitu pendapat yang beranggapan bahwa orang-­orang India saja yang giat melakukan penyebaran tersebut. Akan tetapi peranan orang Indonesia juga perlu ditonjolkan. Bahkan pada suatu ketika partisipasi orang-orang Indonesia dalam proses "penghinduan" itu dapat dibuktikan kebenarannya. Maka dari itu peranan tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dua orang sarjana Barat, yaitu George Coedes dan FDK Bosch telah disinggung-singgung sebagai pencetus dan penyebar anggapan tersebut. Sudah barang tentu anggapan itu bukan tidak mempunyai dasar yang kuat. Dalam penataan teorinya, Bosch mempertegas pendapatnya dengan mengemukakan tulisan kuno yang tersurat pada lempengan tembaga. Lempengan tersebut lazim disebut Piagam Nalanda.
Dalam prasasti atau piagam Nalanda yang berasal dari abad ke-9, dikemukakan tentang hadiah tanah yang diberikan oleh raja Dewapaladewa. Raja tersebut berasal dari keluarga Pala di Benggala. Hadiah tanah itu diberikan kepada raja Sumatera untuk keperluan pendirian sebuah bangunan berupa asrama atau wihara bagi pemondokan para mahasiswa. Raja Suwarnadwipa yang disebutkan dalam prasasti tersebut bernama Balaputra Dewa. Dialah yang banyak mengirimkan para peziarah ke Nalanda untuk mempelajari agama dan pengetahuan lainnya.
Berikut ini disajikan terjemahan prasasti Nalanda dalam bahasa Inggris sebagai bahan pemikiran:
"We being requested by the illustrations Maharaja Balaputradewa, the king of Suwarnadwipa through a messenger I have caused to be built a monastery at Nalanda granted by this edict toward the income for the blessed Lord Buddha, the abode of all the leading virtues like the pradnyaparamita, for the offerings, oblations, shelter, garments, alms, beds, the requisites of the sick like medicines, ect., of the four quarters (comprising) the Bodhisatwas well versed in the tantras, and eight great holy patronages (i.e. the aryagupalas), for writing the dharmaratnas or Buddhist teats and for the up-keep and repair or the monastery (when) damaged” (Prof. Dr. Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi, Jakarta: Idayu, 1981, hal. 182 - 183).

Kutipan di atas hanya sebagian saja dari prasasti seutuhnya. Bagian tersebut menggambarkan latar belakang pendirian wihara dan siapa yang meminta wihara itu didirikan dan sejarah mana keperluannya. Walaupun tidak ditegaskan untuk para pengunjung atau para peziarah dari mana, akan tetapi anggapan bahwa biara itu diperuntukkan bagi para mahasiswa/penuntut ilmu yang datang dari Suwarnadwipa (Indonesia) telah dikemukakan oleh Prof. Muh Yamin. Dalam hal tersebut Yamin mengemukakan, bahwa untuk kepentingan wakaf kepada biara besar di Nalanda, maka dikirimkan ke sana seorang utusan (= duta besar) bernama Ralawarman. Dengan ungkapan tersebut dapat diartikan tentang keaktifan bangsa Indonesia (raja Balaputra) dalam hal yang berhubungan dengan kebiasaan. Hal tersebut berarti pula bahwa Balaputradewa telah memperhatikan akan perkembangan dan kemajuan agama, yaitu dengan jalan mengikatkan tali persahabatan dengan negara lain, yang pada waktu itu. Nalanda merupakan pusat ilmu pengetahuan termashur di daratan Asia.
Dalam pada itu Dr. FDK. Bosch yang namanya telah disebut-sebut pada bagian di muka, menerbitkan karangannya pada tahun 1952 dengan judul: "Local fenius en oud Javaanse kunst". Dalam karangan itu tersembul pendapatnya mengenai peranan bangsa Indonesia dalam proses pengembangan pengaruh Hindu di negara ini.
Dalam karangan itu Dr. Bosch antara lain mengatakan, bahwa tidak hanya golongan Ksatria dan Waisya serta kaum Brahmana saja yang memegang peranan dalam proses penyebaran Hindu tersebut, akan tetapi juga ada peranan yang kuat bangsa Indonesia sendiri. Mereka menerima unsur-unsur Hindu dengan penuh keaktifan. Sebab apabila bangsa menolaknya, tentulah unsur-unsur pengaruh Hindu tersebut tidak dapat berkembang.
Dikemukakan lebih jauh oleh Dr. Bosch, dengan melihat keaktifan seperti diutarakan dalam piagam Nalanda, bangsa Indonesia sendiri pergi ke India untuk mencari pengetahuan, maka tidaklah mustahil merekapun turut menyokong perkembangan atau pencampuran antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Hindu. Di India (Nalanda) mereka melihat dan belajar. Mereka pelajari seluk-beluk- agama, khususnya agama Buddha. Sekembalinya dari India lalu mereka mengajarkan dan menyebarkan ilmu keagamaan dan pengetahuan lainnya kepada bangsa Indonesia sendiri. Cara belajar demikian itu selama berabad-abad hingga sekarang terus dijalankan menurut kelaziman. Bukan orang Indonesia saja, akan tetapi orang-orang Asia lainnya banyak mengirimkan para mahasiswa ke negara­-negara yang lebih maju, misalnya ke Eropa, bahkan ke India sendiri.
Dalam salah sebuah karangan, Prof. Dr. Slamet Mulyana, menemukakan peranan Balaputradewa raja Sriwijaya dalam hubungan dengan prasasti


Bahan Ajar


SEJARAH INDONESIA





Oleh
Prof. Dr. Eddy Lion, M.Pd

Disusun dalam Rangka Peningkatan Kualifikasi Serjana (S1) Kependidikan Bagi Guru dalam Jabatan

FKIP Universitas Palangkaraya



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2009/2010


BANGSA INDONESIA PADA ZAMAN MADYA

1 . Pengantar
Modul 3 ini merupakan kelanjutan dari Modul 2 mengenai sejarah Indonesia. Dalam modul ini dibicarakan kehidupan bangsa Indonesia pada zaman yang diberi nama zaman madya. Zaman madya ini sendiri berlangsung cukup lama karena ia dimulai dari kedatangan agama Islam di Indonesia sampai tegaknya kekuasaan kolonial Belanda. Modul ini hanya membicarakan bagian awal dari zaman madya tersebut yaitu sejak kedatangan agama Islam dengan abad 16. Bagian berikutnya dari zaman madya dibicarakan dalam Modul 4.
Pokok permasalahan yang akan Anda pelajari dalam modul ini ialah awal kedatangan Islam ke Indonesia. Sedikitnya atau kurang memadainya sumber-sumber yang sampai pada kita menyebabkan beberapa kesulitan dalam melukiskan peristiwa sejarah tersebut. Uraian dilanjutkan dengan pembicaraan mengenai pedagang mana yang membawa agama Islam ke Indonesia. Selain itu juga dibicarakan mengenai proses perkembangan agama Islam.
Jadi, disini terlihat jelas bahwa modul ini membedakan pengertian masuknya dan pengertian perkembangan agama Islam. Kedua pengertian ini dibahas dalam Kegiatan Belajar 1 dan oleh karenanya tidak akan disinggung di sini. Demikian pula mengenai pengertian-pengertian peranan bangsa Indonesia dalam penyebaran agama Islam.
Pokok permasalahan lain yang dibicarakan dalam modul ini ialah kehidupan bangsa Indonesia setelah menjadi pemeluk Islam. Masalah ini dibicarakan dalam topik-topik, kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan seni-budaya. Dalam beberapa topik bahasan dilakukan secara singkat karena bahan mengenai topik tersebut cukup banyak dan mudah diperoleh.

2. Tujuan Instruksional Umum
Setelah membaca modul ini Anda diharapkan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai kehidupan bangsa Indonesia pada masa awal pengaruh Islam.

3. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah membaca modul ini Anda mmpu:
a.    menjelaskan alur hubungan dagang antara Indonesia dengan India, Asia Barat Daya, dan Cina;
b.    menjelaskan pendapat-pendapat mengenai masuknya agama Islam di Indonesia;
c.    menjelaskan proses perkembangan agama Islam di Indonesia;
d.    menyebutkan bukti-bukti yang mendukung teori tentang masuknya agama Islam di Indonesia;
e.    membandingkan kekuatan dan kelemahan teori-teori mengenai masuknya agama Islam di Indonesia;
f.      menentukan dasar  pikiran yang dijadikan landasan mengenai proses perkembangan agama Islam di Indonesia;
g.    membedakan pengertian masuknya dan perkembangan agama Islam di Indonesia;
h.    mengemukakan peran yang dimainkan bangsa Indonesia dalam proses masuknya Islam di Indonesia;
i.      mengemukakan peran yang dimainkan bangsa Indonesia dalam mengembangkan agama Islam di Indonesia;
j.      menjelaskan pengaruh agama Islam dalam kehidupan politik bangsa Indonesia;
k.    menjelaskan pengaruh agama Islam dalam kehidupan sosial bangsa Indonesia;
l.      menyebutkan 4 golongan sosial yang ada pada masa abad 13-16 dalam masyarakat Indonesia
m.  menjelaskan hubungan antara keempat lapisan sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia;
n.    menjelaskan mengenai mobiliitas sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia;
o.    mengemukakan pengaruh Islam dalam kehidupan ekonomi bangsa, Indonesia;
p.    mengemukakan pendapat sarjana Belanda mengenai pengaruh Islam terhadap ekonomi Indonesia;
q.    mendiskusikan kekuatan dan kelemahan teori sarjana Belanda mengenai pengaruh Islam terhadap, ekonomi bangsa Indonesia;
r.     mengemukakan pengaruh Islam dalam seni bangunan di Indonesia;
s.     mengemukakan pengaruh Islam dalam seni lukis di Indones ia;
t.      mengemukakan pengaruh Islam terhadap seni sastra di Indonesia.


4. Kegiatan Belalar
4.1 Kegiatan Belajar 1
MASUK DAN PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
4.1.1 Uraian dan Contoh
Mengenai masuk dan perkembangan Islam di Indonesia sampai saat sekarang belum sepenuhnya dapat dijelaskan para sejarawan dengan memuaskan. Terutama penjelasan mengenai masuknya Islam di Indonesia masih terasa sangat tidak memuaskan. Keadaan semacam memang tidak menguntungkan tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang unik dalam suatu studi sejarah. Kelangkaan sumber-sumber yang ada dan ketidaklengkapan informasi yang diberikan oleh sumber yang tersedia merupakan suatu situasi yang tak dapat dihindarkan. Dan studi sejarah yang bertimbungan dengan peristiwa kehidupan manusia di masa lampau tidak dapat menghasilkan informasi yang dikehendaki seperti yang terjadi pada ilmu­-ilmu sosial lainnya dan ilmu-ilmu alamiah. Hakikat dari objek studi sejarah yang demikian tidak memberikan kesempatan atau dasar bagi pengembangan metodologi penelitian yang mempunyai kapasitas sama atau paling tidak setara seperti metodologi ilmu-ilmu yang lain tersebut dalam menghasilkan informasi yang diharapkan.
Oleh karenanya para sejarawan harus bekerja dengan informasi yang tersedia, betapa pun tingkat ketidaklengkapan informasi tersebut. Berdasarkan informasi yang tersedia itu pula sejarawan harus dapat "mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin, serta menerangkannya setepat mungkin" (Taufik Abdullah, 1985: XVI) mengenai peristiwa yang menjadi kajiannya. Tentu saja disadari bahwa kemampuan semacam itu selain bervariasi antara satu sejarawan dengan dengan lainnya tapi juga bukan tanpa keterbatasan. Dalam semangat yang demikian Belth (1977: 145) menulis sebagai berikut:
Every such explanation is at best conjectural and tentative, awaiting only logical support, the support not of overt vindication but of intellectual satisfaction. And every such explanation simply awaits the development either of additional records that can be shown to have been relevent and therefore structurally (in that logical sense), though not empirically, necessary. Or it waits the development of a new nrodel of organization of the recorded data, from which other meanings can now be derived of the evidence available and accepted as relevant.
Artinya:
Setiap penjelasan yang seperti itu (suatu hasil rekonstruksi) paling tinggi tingkatnya bersifat sementara dan perkiraan sambil mengharapkan adanya dukungan logika, suatu dukungan yang bukan bersifat balas-ri-en.balas tapi bersifat kepuasan intelektual. Dan setiap penjelasan yang demikian hanya nenunggu baik tambahan catatan-catatan yang dapat menunjukkan relevansinya dan karenanya secara struktural (dalam pengertian logika tadi) diperlukan walaupun bukan sesuatu yang empirik. Atau ia menunggu perkembangan suatu model organisasi baru mengenai data tercatat tersebut berdasarkan hal mana pengertian baru dapat ditarik dari bukti-bukti yang ada dan diterima sebagai sesuatu yang relevan.

Dengan kesadaran yang demikian maka modul mengenai sejarah Indonesia pada masa masuk dan perkembangan Islam, di Indonesia ini dirangkai.
Bahan-bahan sumber, walaupun kebanyakan adalah sumber kedua, dimanfaatkan sebaik-baiknya selama bahan itu dapat dipertanggungjawabkan nilainya. Meskipun demikian sangat disadari bahwa kajian mengenai masuk dan perkembangan Islam, pada masa-masa awal ini lebih banyak bersifat hipotesis. Saudara mahasiswa dengan demikian ditantang untuk membuka tabir-tabir baru mengenai masa ini berdasrkan sumber-sumber baru yang mungkin akan ditemukan kemudian.
Kajian kegiatan pertama ini dimulai dengan bahasan mengenai jalan perdagangan bangsa Indonesia pada waktu itu. Hal ini disebabkan karena teori-teori yang berhubungan dengan masuk dan perkembangan Islam, di Indonesia selalu dihubungkan dengan alur perdagangan yang ada pada waktu itu. Mengingat sifat hubungan antar bangsa yang umum, pada waktu itu adalah melalui kegiatan perdagangan.
Pembicaraan berikutnya adalah mengenai berbagai teori mengenai masa masuknya agama Islam di Indonesia. Dalam hal ini terutama ditekankan pada persoalan adanya orang Indonesia yang telah memeluk Islam, dan bukan hanya sekedar adanya orang Islam di Indonesia. Kedua kriteria ini ­tentu saja jelas berbeda. Adanya orang Indonesia yang beragama Islam dapat dipergunakan sebagai petunjuk atau tolak ukur bahwa Islam telah masuk ke Indonesia. Sedangkan adanya orang Islam, di Indonesia hanyalah dapat dijadikan bukti bahwa adanya bukti hubungan antara orang Islam, dengan orang Indonesia tanpa berarti bahwa orang Indonesia telah ada yang memeluk Islam.
Pembicaraan yang ketiga adalah mengenai perkembangan agama Islam di Indonesia. Tentu saja jelas bagi kita bahwa proses masuk dan proses berkembang adalah dua hal yang berbeda. Karena itu adalah sangat menarik untuk mempertanyakan bagaimana agama tersebut berkembang sehingga pada saat sekarang ia menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas orang Indonesia.
Bagian akhir dari kegiatan pertama ini membicarakan peranan orang Indonesia dalam proses perkembangan agama Islam di Indonesia. Apakah orang Indonesia sebagai pihak penerima yang pasif ataukah yang aktif. Kiranya hal ini perlu pula dipertanyakan  karena seperti telah kita pelajari dari masa kekuasaan Hindu di Indonesia maka ada teori-teori yang mengesankan peranan pasif bangsa Indonesia dalam menerima ajaran tersebut. Teori-teori seperti yang dikembangkan oleh Brandes, Berg, dan juga Krom memberikan kesan peranan pasif bangsa Indonesia dalam menerima pengaruh Hindu. Apakah keadaan demikian berlaku juga dalam penyebaran Agama Islam?
Kegiatan pertama ini dikembangkan juga untuk memberikan bekal bagi guru dalan mengajar. Kajian ini dihubungkan dengan kurikulum sekolah menengah pertama yang juga membicarakan tentang masa ini. Tentu saja ruang lingkup materi yang disajikan lebih luas dari apa yang dapat dibicarakan oleh guru di kelas bersama siswanya. Hal ini dilakukan dengan sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa guru harus memiliki wawasan yang luas dan mendalam agar ia dapat berkomunikasi dengan baik. Lagipula berdasarkan pengalaman dan penelitian sering dijumpai bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa kadangkala sangat dan keluar dari ruang lingkup bahan yang ada di buku pelajaran. Karena itu guru harus siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

a. Alur Dagang Bangsa Indonesia
Pada suatu saat alur perdagangan utama di Asia ialah alur dagang yang menghubungkan Cina dengm India. Alur dagang ini melewati jalan darat melalui daerah yang ribuan kilometer jauhnya. Jalan ini yang dalam sejarah dikenal dengan sebutan Jalan Sutera, suatu nama yang sangat jelas menggambarkan barang dagangan utama sutera. Meskipun demikian barang dagangam lainnya seperti batu permata dan juga bahan makanan dibawa melalui jalan ini pula.
Tak dapat dipungkiri bahwa alur perdagangan jalan darat ini bertahan cukup lama. Tetapi dengan kemajuan teknologi terutama teknologi perkapalan orang mulai mencari altematif lain yang dianggap lebih menguntungkan. Jalan alternatif itu adalah alur perdagangan laut.
Sebagaimana jalur yang dinamakan Jalan Sutera, jalur perdagangan
laut inipun dimulai dari negeri Cina di ujung timurnya. Di ujung bagian barat, alur perdagangan laut itu melalui India dan sampai ke Timur Tengah. Selat Malaka merupakan jalan laut yang paling banyak dilalui kapal-kapal tersebut. Daerah-daerah India (pada waktu itu belum lada negara India) seperti Chola, Cambay, dan juga Surat telah memainkan peranan penting walaupun kedudukan Chola pada pada masa awal lebih
penting. Ini dikarenakan adanya kenyataan bahwa kerajaan besar di daerah utara baru memperhatikan kehidupan perdagangan (terutama perdagangan laut) pada masa Maurya dan kemudian Gupta berkuasa di Magadha.
Lebih ke barat lagi alur perdagangan itu melewati Laut Arab. Dari sini jalur yang melalui selat Ormuz lebih ramai dibandingkan jalur yang melalui laut Merah. Melalui kota-kota di daerah Timur Tengah alur perdagangan tersebut berlanjut ke Laut Tengah dan berhubungan dengan Eropa.
Sukar dipastikan bilamana alur perdagangan laut ini dimulai. Demikian pula untuk menentukan apakah alur perdagangan laut ini berkembang pada waktu yang sama sepanjang alur tersebut. Tetapi tampaknya alur tersebut telah berkembang sejak masa sebelum Masehi. Pada masa Maurya alur perdagarigan tersebut sudah ada. Lukisan yang diberikan oleh Periplus Maris Erythreae (yang menggambarkan geografi perjalanan laut) yang dipercaya ditulis pada awal abad pertama Masehi memberikan petunjuk bahwa alur perdagangan tersebut sudah ada masa sebelumnya.
Pada masa Masehi perdagangan tersebut menjadi semakin ramai. Hal ini terutama disebabkan adanya permintaan yang makin lama makin bertambah dari Romawi atas barang-barang dari Cina dan Indonesia. Barang-barang-seperti sutera, pala, kulit penyu, indigo, rempah-rempah lainnya merupakan komoditi perdagangan menguntungkan.
Apakah bangsa Indonesia telah turut dalam kegiatan perdagangan pada waktu itu? Melihat alur perdagangan yang ada terutama penggalan antara Cina dengan India, daerah Indonesia merupakan daerah yang harus dialuri oleh pedagang.  Sukar dapat dibayangkan bahwa hubungan dagang pada alur ini tidak memberikan arti sama sekali bagi kegiatan dagang bangsa Indonesia. Keterlibatan bangsa Indonesia dalam perdagangan tidak hanya disebabkan adanya alur perdagangan yang melewati daerahnya saja. Apabila kita kaji lebih jauh akan tampak bahwa apa yang diperdagangkan pada waktu itu memberikan petunjuk adanya keikutsertaan yang lebih dari hanya sekedar sebagai daerah yang dilewati. Barang-barang dagangan seperti tarum, kulit penyu, emas, rempah- rempah, dan padi-padian seperti jawawut merupakan barang dagangan yang banyak dihasilkan di Indonesia.
Dari cacatan sejarah India diketahui bahwa  kerajaan Chola menjadi makmur pada masa sebelum Masehi dari hasil perdagangannya dengan Malaya dan Asia Tenggara (Thapar, 1975: 1113). Di antara daerah-daerah Asia Tenggara yang disebut-sebut ialah: Jawa, Sumtera, dan Kalimantan. Thapar (1975: 118) menulis:
Tarade with the Yavanas was not the only commercial outlet open to India. This was the period which saw the extension of trade with south-east-Asia, caused at first by the Roman demand for spices which led Indian merchants to venture as middlemen to Malaya, Java, Sumatera, Cambodia, and Borneo, the sources of spices.
Terjemahannya:
Perdagangan dengan Yavana (Thapar mengindentifikasi Yavana dengan orang-orang dari Timur Tengah dan Laut Tengah) bukanlah satu-satunya jalan perdagangan yang terbuka bagi India. Masa ini adalah masa yang memperlihatkan perluasan perdagangan dengan Asia Tenggara karena terutama disebabkan oleh tuntutan orang Roma atas rempah-rempah sehingga menyebabkan pedagang­pedagang India mengambil resiko sebagai pedagang perantara ke Malaya, Jawa, Sumatera, Kamboja, dan Kalimantan yang merupakan sumber rempah-rempah.

Lukisan yang diberikan Thapar tersebut ialah lukisan India pada masa 200 sebelum Masehi sampai dengan 300 Masehi. Dengan demikian kita ketahui bahwa perdagangan sebetulnya telah terjadi antara Indonesia dengan India sebelum pengaruh India dominan di Indonesia. Dari lukisan itu juga ada petunjuk bahwa pedagang India tersebut datang ke Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan orang-orang Roma akan rempah- rempah yang semakin lama semakin besar jumlahnya. Sehingga para pedagang tersebut berani mengambil resiko mengarungi lautan datang ke Indonesia. Selanjutnya, ada kesan yang kuat bahwa sebelumnya pedagang-pedagang India menerima rempah-rempah, tersebut di negerinya dan kemudian dijual kembali ke pedagang Timur Tengah dan seterusnya ke Roma.
Lantas sebelum pedagang India mengambil peran aktif untuk mendatangi daerah-daerah penghasil rempah-rempah secara langsung siapakah yang membawa rempah- rempah tersebut ke India?  Bukan tidak mungkin bahwa justru pedagang Indonesia yang menjadi pembawa barang dagangan itu sendiri. Kalau kita ingat bahwa bangsa Indonesia sejak zaman terdahulu telah hemiliki kemampuan dalam pelayaran kiranya kemungkinan tersebut tidaklah berlebihan. Adanya pendapat beserta bukti-buktinya bahwa bangsa Indonesia telah mampu berlayar sampai ke Madagaskar memberikan dukungan akan kemungkinan bahwa pembawa barang­-barang tersebut adalah bangsa Indonesia.
Kemungkinan lain adalah bahwa barang-barang dari Indonesia itu
dibawa oleh pedagang-pedagang Cina. Kemungkinan yang sama bagi pedagang-pedagang Arab karena hubungan dagang antara Cina-India dan Cina-Arab telah terjadi pada masa itu. Tentu saja kemungkinan lainnya adalah bahwa pedagang-pedagang Indonesia, Cina dan Arab bersama-sama membawa barang dagangan tadi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan adanya perhitungan yang lebih menguntungkan pedagang-pedagang India mulai memasuki wilayah perdagangan di daerah ini secara langsung.
Pada abad-abad permulaan Masehi jalur perdagangan laut ini makin berkembang. Pedagang-pedagang India, Arab, dan Cina makin bertambah banyak yang datang ke Indonesia. Demikian pula para pedegang Indonesia banyak yang datang ke India. Pada masa inilah kiranya (di India pada masa itu berada dibawah kekuasaan dinasti Gupta yang berkuasa di Magadha) agama Hindu beserta pengaruhnya masuk ke Indonesia.. Agama Islam belum lahir dan karenanya belum ada pedagang-pedagang Islam. Pedagang-pedagang dari daerah Timur Tengah terutama dari Arab Saudi tentu saja telah datang dan seperti pedagang Hindu mereka juga sebagian telah bermukim di Indonesia. Adanya berita Arab yang menyebutkan kerajaan Zabag yang dipersamakan dengan Sriwijava memberikan bukti tentang kehadiran pedagang-pedagang Arab tersebut.
Pada abad-abad berikutnya jalur perdagangan laut semakin lama semakin ramai. Permintaan akan barang-barang Asia di Eropa makin lama semakin bertambah. Keuntungan yang menggiurkan dan juga perjalanan-­perjalanan keagamaan. Seperti kita ketahui bahwa agama Buddha dan juga Hindu telah menyebar ke luar India. Agama Buddha, misalnya, telah berkembang di Indo Cina dan Cina. Agama Hindu telah menunjukkan pengaruhnya di Indonesia seperti kerajaan Kutai dan Taruma.
Sementara itu di Indonesia telah berkembang kerajaan-kerajaan yang juga terlibat dalam alur perdagangan tersebut. Melanjutkan tradisi dari perdagangan, sebelumnya, kerajaan inipun mengirimkan saudagar­-saudagarnya ke India. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan Indonesia yang terkenal karena kegiatan maritim dan perdagangan lautnya.     
Pada masa yang sama agama Islam telah berkembang. Bahkan pada awal abad ke-8  pusat kerajaan Islam di Damaskus telah merupakan pusat perdagangan yang ramai. Muawiyah yang menjadi pendiri dinasti merupakan orang yang cakap dan mempunyai perhatian yang serius terhadap perdagangan. Pedagang Arab-Islam berlayar ke India, Asia Tenggara dan Cina melanjutkan tradisi nenek moyangnya yang telah berkembang sebelum Islam. Bukti-bukti mengenai kehadiran pedagang Arab-Islam cukup banyak. Bukti-bukti ini akan kita pergunakan untuk membicarakan proses masuknya Islam di Indonesia.



b. Proses Masuknya Islam ke Indonesia
Posisi geografis Indonesia sangat khusus karena sebagai negara kepulauan tidak ada bagian dari Indonesia yang secara langsung berhubungan dengan daratan benua Asia. Keadaan yang khusus ini tentu memberikan kemungkinan-kemurigkinan khusus pula bagi Indonesia dalam menerima pengaruh luar. Keadaan geografis kepulauan Indonesia menyebabkan satu-satunya alternatif yang sangat mudah diterima dan dapat dipahami bagi Indonesia dalam menerima pengaruh luar adalah melalui jalan hubungan laut.
Jalan hubungan laut pada waktu (masa abad ke 6 sampai dengan abad ke 20 permulaan) sangat didominasi oleh keperluan perdagangan. Pemakai jalan ini untuk keperluan lain ialah bagi perjalanan agama. Penziarah-­penziarah Buddha dari Cina ke India mempergunakan jalan ini  pula. Tampaknya demikian pula halnya dengan proses masuknya agama Islam ke Indonesia. Jalur perdagangan laut ini menjadi pula jalur kedatangan Islam ke  Cina Asia Tenggara dan terutama Indonesia. Meskipun demikian kita tidak mendapatkan bukti adanya suatu misionaris Islam yang khusus datang ke wilayah in  dalam usaha menyebarkan agama tersebut.
Ketiadaan misionaris ini kiranya dapat dipahami karena sifat ajaran agama Islam itu sendiri yang mengajarkan bahwa setiap pemeluk Islam adalah penyebar agama. Konsekuensi dari ajaran ini ialah seorang muslim haruslah seorang yang mengetahui agamanya secara baik dan dapat mengajarkan agama tersebut kepada orang lain. Dalam konteks yang sedang kita bicarakan disini hal tersebut berarti bahwa setiap pedagang muslim  adalah pula penyebar agama Islam.
Sehubungan dengan masalah proses masuknya ini pertanyaan-pertanyaan berikut ini diajukan:
1.    Pedagang Islam manakah yang membawa agama Islam ke Indonesia? Pertanyaan ini perlu diajukan karena pedagang Islam tidak selalu sama dengan pedagang Arab. Pedagang Islam yang datang pada waktu proses Islamisasi tadi dapat saja pedagang bukan Arab seperti Pedagang Persia ataupun pedagang India. Mungkin juga pedagang Cina atau pedagang bangsa lain. Juga mungkin sekali pedagang Indonesia sendiri yang datang ke tempat lain memeluk Islam dan kemudian membawa agama barunya tersebut ke tanah air.
2.    Bilamanakah agama Islam masuk ke Indonesia?
Kedua pertanyaan ini akan merupakan titik tolak kajian bagian ini. Marilah kita bicarakan pertanyaan yang pertama.
Dari uraian di atas telah kita ketahui bahwa pedagang Arab telah sampai ke India jauh sebelum masa Islam berkembang. Pada masa Islam berkembang kedatangan pedagang-pedagang Arab ke India sudah bukan merupakan suatu pandangan yang asing lagi. Daerah-daerah India seperti Surat, Cambay dan Debul di Sind merupakan pelabuhan-pelabuhan yang banyak didatangi oleh para pelaut Islam (Symonds, 1950: 17).
Selain ke India, pedagang Arab-Islam tersebut telah pula datang ke Indonesia dan Cina. Benda-benda yang berhubungan dengan ilmu perbintangan yang dapat ditemukan di negara Cina memperlihatkan bahwa barang-barang tersebut dibuat di Arab. Bahkan bukti-bukti cukup kuat memperlihatkan bahwa ilrnu perbintangan di Cina berkembang setelah mendapat guru-guru orang Arab yang bekerja di pusat-pusat kajian perbintangan di sana. Bagi orang Arab sendiri ilmu perbintangan tersebut telah berkembang jauh sebelum kelahiran agama Islam.. Peninggalan-peninggalan dari kerajaan Sumeria memberikan petunjuk bahwa perbintangan telah merupakan ilmu yang mendapat tempat dalam masyarakat.
Bukti mengenai kedatangan orang Arab-Islam ke Indonesia sangat langka dibandingkan dengan bukti kehadiran mereka di India. Dari sumber-sumber Indonesia sendiri herannya kita tidak mendapatkan petunjuk akan kehadiran orang-orang Arab tersebut. Peninggalan-­peninggalan kerajaan Sriwijaya, Mataram dan juga Majapahit tidak menyinggung-nyinggung mengenai kehadiran pedagang Arab. Demikian pula sumber-sumber yang dapat kita temukan dari kerajaan-kerajaan Indonesia lainnya.
Ketiadaan berita ini mungkin sekali disebabkan kehadiran orang‑orang Arab yang sudah lama di wilayah Indonesia. Kehadiran yang lama tersebut menyebabkan mereka tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang asing dan perlu dilaporkan. Keadaan seperti itu kita jumpai pula misalnya mengenai kehadiran orang-orang India yang juga dapat dikatakan tidak pernah disebut-sebut dalam sumber sejarah yang berasal dari masa kejayaan kerajaan Indonesia-Hindu.
Hal lain yang mungkin menyebabkan tiadanya berita mengenai orang-orang Arab tersebut mungkin sekali dikarenakan mereka tidak langsung berhubungan dengan para penguasa/raja Indonesia. Sebagai pedagang mereka berada di kota-kota pelabuhan dan hanya berhubungan dengan para pedagang. Artinya, mereka tidak langsung berhubungan dengan para penguasa walaupun para penguasa tersebut dianggap sebagai pemilik barang. Oleh karenanya mereka tidak tercatat dalam pengumuman atau dokumentasi pemerintahan. Kemungkinan ini memang sangat kecil mengingat kegiatan perdagangan merupakan salah satu kegiatan yang tak akan lepas dari perhatian penguasa. Walaupun demikian kemungkinan seperti ini bukanlah sesuatu yang mustahil apabila diingat pula bahwa catatan­-catatan yang dikeluarkan pemerintah pada umumnya berhubungan dengan peristiwa dalam negeri yang berkaitan dengan anak negeri atau peristiwa yang berkisar pada kehidupan raja.
Bukti mengenai kehadiran orang-orang Arab di Indonesia lebih banyak berasal dari sumber-sumber luar negeri. Selain sumber dari Arab sendiri yang menyebutkan mengenai kerajaan Sriwijaya seperti telah disebutkan terdahulu, yang dapat kita kenal adalah sumber dari Cina. Bangsa Cina yang merupakan bangsa tertua di dunia yang gemar membuat catatan-­catatan mengenai peristiwa yang terjadi menyebutkan adanya orang-orang Arab di Indonesia.
Di antara sumber-sumber dari Cina yang berhubungan dengan kehadiran orang Arab di Indonesia ialah catatan yang dibuat oleh para pelayar Cina pada  abad ke-7 Masehi dan yang lain ialah catatan dari abad yang sama mengenai raja Ta-cheh atau Ta-shih. Mengenai yang pertama, Hamka (1961 7:- 660 - 661) sebagai berikut (ejaan sudah disesuaikan dengan EYD, pen.) :
namun kita telah mendapati catatan-catatan tahunan yang diperbuat oleh pelayar-pelayar Tionghoa pada tahun 684 M. tentang berjumpanya seorang pemimpin Arab - yang menurut penyelidikan terakhir ialah pemimpin dari suatu koloni orang Arab di pantai Sumatera sebelah barat.
Laporan mengenai Ta-shih berhubungan dengan catatan Cina yang berhasil dikumpulkan oleh Groeneveldt. Dalam tulisannya yang berjudul "Historical notes on Indonesia & Malaya: Compiled from the Cinese Sources" dan diterbitkan oleh Bhratara, Groenveldt menterjemahkan catatan Cina itu sebagai berikut:
In 674 the people of this country took as their ruler a woman of the name Sima. her rule was most excellent, even things dropped on the road were not taken up. The prince of the Arab, hearin of this, sent a bag with gold to be laid down within her frontiers: the people who passed that road three years. Once the heir apparent stepped over that gold and Sima became so incense that she wanted to kill him. Her ministers interceded and then Sima said: "Your fault lies in your feet, therefore it will be sufficient to cut them off'. The ministers interceded again and she had his toes cut off, in order to give an example the whole to nation, When the prince of Tazi heard this, he became afraid and dated not attack her (Groeneveldt, 1960: 14)
Terjemahannya:
Pada tahun 674 rakyat negeri ini mengangkat seorang wanita yang bernama Sima sebagai penguasa mereka. Pemerintahannya sangat baik bahkan barang-barang yang jatuh di jalan dibiarkan tidak dicuri orang. Seorang pangeran Arab mendengar keadaan ini dan kemudian meletakkan sekarung emas di daerah  perbatasan kerajaan: penduduk negeri yang melewati jalan tersebut menghindari diri dari karung tersebut dan berada di sana selama tiga tahun tanpa terganggu. Pada suatu waktu putra mahkota menginjak emas tadi dan Sima menjadi sangat murka sehingga ia ingin membunuh putra mahkota tersebut. Para menteri menengahi dan kemudian Sima berkata: "Kesalahanmu terletak pada kakimu karena kaki tersebut harus dipotong". Para menteri kembali menengahi dan sang Ratu memotong tumit putra mahkota sebagai pelajaran bagi seluruh rakyat. Ketika pangeran Tazi mendengar hal ini dia menjadi takut dan tidak berani menyerang Ratu.

Dari kedua sumber tersebut terdapat petunjuk bahwa orang Arab-Islam telah ada di Indonesia pada abad ke -7. Hal ini bukan sesuatu yang sukar dipahami mengingat aktivitas pelayaran bangsa Arab di daerah Asia Tenggara. Tetapi apakah hal itu langsung dapat dijadikan bukti bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sesuai dengan definisi yang dikemukakan dibagian terdahulu? Kedua sumber itu baru dapat dijadikan bukti bahwa Islam telah datang ke Indonesia. Untuk dapat menentukan bahwa Islam telah masuk diperlukan data lebih lanjut yang memberikan informasi bahwa orang Indonesia telah ada yang masuk Islam. Apabila informasi yang demikian tidak kita peroleh dari sumber-sumber sejarah yang kita miliki tentu saja suatu rangkaian hipotesis perlu dikemukakan.
Bukti-bukti mengenai adanya orang Islam di Indonesia terutama terlihat pada abad-abad berikutnya, terutama abad ke-13. Bukti ini berhubungan dengan timbulnya kekuasaan kenegaraan yang berdasarkan ajaran Islam. Kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai di Aceh dan pada abad-abad kemudian Demak di Jawa Tengah merupakan bukti yang jelas mengenai adanya pemeluk agama Islam di Indonesia. Meskipun demikian kiranya kita sadari bahwa suatu kerajaan Islam tidak muncul tiba-tiba begitu saja. Tentu saja ada proses sebelumnya sehingga kerajaan tersebut berhasil muncul. Lagipula pengetahuan kita tentang adanya kerajaan tadi berdasarkan sumber-sumber tertulis yang berhasil kita temukan atau yang sampai pada kita.
Adanya suatu proses merupakan pula dasar berpikir yang dapat dipergunakan untuk menutupi kekurangan data konkrit mengenai adanya orang Indonesia yang masuk Islam. Demikian pula sifat pengembangan agama Islam yang dilakukan secara damai dan bukan melalui perluasan kekuasaan. Berdasarkan pemikiran yang demikian maka sangat sukar dipahami bahwa apabila terjadi kolonisasi orang Arab-Islam baik di pesisir Sumatera Barat maupun di kota-kota pelabuhan lainnya tidak menimbulkan usaha pengembangan agama Islam di kalangan penduduk asli.
Sangat besar kemungkinan bahwa pada abad ke-7 tersebut telah ada orang Indonesia yang memeluk agama Islam. Kalau pun yang memeluk agama baru tersebut bukan orang Indonesia dari kasta Sudra sebagaimana kasus di India, paling tidak orang-orang Indonesia yang pertama memeluk agama Islam tersebut adalah teman berdagang orang-orang Arab tersebut dan juga kalangan wanita. Tampak mereka inilah yang paling mungkin menjadi pemeluk agama Islam.
Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama Islam telah mempunyai pengikut (pemeluk) orang Indonesia pada abad ke-7 Masehi tersebut. Meskipun demikian pemeluk agama Islam masih sangat terbatas dan bersifat sporadis di daerah-daerah pelabuhan dan sekitarnya. Mungkin sekali keadaan ini sama dengan keajaan Islam di India pada abad yang sama di India pada masa ini baru berhasil mendirikan pusat-pusat kekuasaan yang bersifat terbatas di daerah Sind. Di Indonesia pusat-pusat kekuasaan tadi belum terbukti. Barangkali yang ada hanya kampung-­kampung Islam dan bukan pusat-pusat kekuasaan Islam.
Kalau ungkapan di atas dapat diterima sebagai suatu kenyataan maka kita telah menjawab pertanyaan kedua yang kita ajukan di atas yakni agama Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Agama tersebut baru berkembang pesat pada masa belakangan (abad ke-12 dan selanjutnya). Tampaknya pada abad ke-7 tersebut agama Islam hanya disebarkan oleh para pedagang. Para mubalig atau pemuka agama yang secara khusus melakukan dakwah belum banyak atau mungkin tidak ada sama sekali. Akibatnya, perkembangan agama Islam sepenuhnya tergantung dari kegiatan para pedagang tersebut. Artinya, mereka menyebarkan ajaran Islam pada waktu-waktu tertentu saja yaitu ketika mereka sedang senggang. Sedangkan kita ketahui, sebagai pedagang mereka menghabiskan sebagian waktunya dalam perjalanan. Oleh karena itu pemeluk agama Islam menyebar didaerah-daerah yang dikunjungi para pedagang, tapi tidak dalam jumlah besar untuk setiap daerah. Setelah ada usaha yang lebih sistematis dengan munculnya kelompok pemuka agama yang lebih banyak mencurahkan waktunya untuk mengajarkan Islam barulah agama Islam berkembang secara pesat di Indonesia.
Sekarang kita kembali kepda pertanyaan pertama yaitu pertanyaan mengenai pedagang mana yang membawa agama Islam ke Indonesia. Dari uraian mengenai jalur perdagangan dan mengenai masuknya Islam di Indonesia ada kecenderungan bahwa pembawa Islam ke Indonesia ialah para pedagang bangsa Arab. Adanya kolonisasi Arab di Sumatera Barat dan adanya keterangan Cina mengenai raja Ta-shih memberi petunjuk kuat akan peran pedagang Arab dalam proses masuknya agama Islam ke Indonesia. HAMKA merupakan salam seorang penganut dari pendapat tersebut. Haji Agus Salim (1962) juga berpendapat sama dengan HAMKA (1961).
Pendapat lain mengatakan bahwa agama Islam datang dan masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang Islam dari daerah Gujarat (India). Para orientalis (ahli tentang dunia timur) terutama C. Snouck Hurgronje yang anti Islam dan J.P. Moquette yang ahli purbakala (Sartono Kartodihardjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, 1976: 111 - 112) adalah termasuk para sarjana yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia melalui pedagang Gujarat. Pendapat mereka ini didasarkan pada peninggalan-peninggalan Islam yang ada di Indonesia.
C. Snouck Hurgronje dalam tulisannya yang      berjudul “De Islam in Nederlandsch-Indie" (Islam di Nederlandsch Indie = Islam di Nusantara) mengemukakan bahwa bukti adanya hubungan langsung antara pedagang Arab dan Indonesia memberikan petunjuk bahwa hubungan itu terjadi pada abad-abad kemudian yaitu sekitar pertengahan
abad ke-17. Pada masa sebelumnya hubungan antara Indonesia dengan Arab dilakukan melalui pedagang perantara dari daerah Gujarat. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa cerita-cerita Islam yang ada di Indonesia lebih menunjukkan pengaruh India dibandingkan pengaruh Arab. Demikian pula kebiasaan-kebiasaan muslim di Indonesia memberi petunjuk yang kuat ada1ah pengaruh  India.
J.P. Moquette mendasarkan teorinya atas analisisnya mengenai nisan Malik as-Saleh yang berasal dari Samudera Pasai. Dalam tulisannya yang berjudul "De Grafsteenen te Pase en Grisse vergeleken met dergelijke monumenten uit Hindoestan" (= Perbandingan batu nisan Pase dan Gersik serta persamaannya dengan bangunan-bangunan Hindu), Moquette menyimpulkan bahwa baik batu nisan Malik as-Saleh maupun batu-batu nisan lainnya menunjukkan adanya persamaan bentuk dengan yang terdapat di Cambay dan Gujarat. Berdasarkan kesimpulan inilah ia berpendapat bahwa Islam di Indonesia dipengaruhi oleh Islam India.
Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Persia (Persia = Iran). Adanya nama-nama raja yang memakai gelar Shah, kata-kata Indonesia seperti Shahbandar, lebai, dan sebagainya serta ali ran  Shiah dijadikan bukti mengenai peranan pedagang Persia dalam masuknya dan perkembangan agama Islam di Indonesia.
Memang sukar untuk mengambil suatu kesimpulan yang kuat mengenai pedagang darimana yang membawa agama Islam ke Indonesia. Kesulitan itu terutama disebabkan bukti-bukti yang ada menunjukkan adanya berbagai pengaruh tersebut. Lagipula pendapat-pendapat tersebut hanya berdasarkan suatu bukti-bukti yang bersifat eksklusif. Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa praktek agama Islam yang ada beragam.
Lebih lanjut, adanya kata-kata Persia belum merupakan suatu bukti yang kuat bahwa Islam dibawa oleh para pedagang negara tersebut. Bukan tidak mungkin bahwa dalam perjalanan mereka ke Indoneasia orang-orang Arab mengutip perkataan tadi dan mempergunakannya. Mungkin pula pedagang Islam-India yang dari Gujarat dan banyak berhubungan dengan Iran membawa kata-kata tadi ke Indonesia.
Demikian pula dengan bukti yang diambil dari bentuk-bentuk nisan. Kalau kita perhatikan lebih mendalam segera akan tampak bahwa peningggalan-peninggalan seperti nisan tadi berasal dari abad ke-11, 12, dan 13. Sedangkan agama Islam telah berada dan masuk ke Indonesia jauh sebelumnya. Oleh karenanya bukan tidak mungkin bahwa nisan tersebut dibawa setelah terjadi perkembangan lain di Indonesia. Seperti kita ketahui di Arab sendiri nisan kubur bukan merupakan sesuatu yang umum dipergunakan. Kiranya nisan itu sendiri dapat dikatakan sebagai petunjuk bahwa ada perubahan dalam praktek agama terutama dalam kebiasaan memberikan tanda kubur bagi orang yang sudah meninggal. Bukan tidak mungkin bahwa kebiasaan ini merupakan usaha melestarikan kebiasaan masa prasejarah Indonesia. Kebiasaan ini yang telah dilanjutkan di masa pengaruh Hindu kemudian muncul kembali pada masa Islam.
Oleh karenanya, kesimpulan yang agak umum dan mempunyai kekuatan yang lebih baik yang dapat diambil untuk menjawab pertanyaan mengenai pedagang mana yang membawa agama Islam ke Indonesia. Dalam hal ini kesimpulan yang diambil oleh penulis buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III atas nama Sartono, Yartodihardjo, Marwati Doened Poesponego dan Nugroho Notosusanto yang disunting oleh Tjandrasasmita (1976) memenuhi persyaratan tersebut. Mereka menulis bahwa agama Islam datang ke Indonesia d ibawa oleh para pedagang muslim dari “Arab, Persia, India (Gujarat, Benggala)".

c. Proses Perkembangan Agama Islam
Di bagian b kita telah membicarakan mengenai proses masuknya agama Islam di Indonesia. Di bagian itu pula kita singgung secara sepintas mengenai proses perkembangan agama Islam. Dikatakan di bagian b tersebut bahwa mulanya perkembangan agama Islam itu tidak bersifat sistematis dan hanya dipeluk orang Indonesia yang benhubungan langsung dengan para pedagang muslim. Di bagian ini akan kita bicarakan lebih lanjut mengenai perkembangan agama Islam di Indonesia yaitu suatu proses setelah agama Islam menjadi agama sebagaian kecil orang Indonesia sehingga menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk.
Mengenai proses perkembangan agama Islam ini kita berbicara tentang dua fase yang mempunyai karakteristik berbeda. Perbedaan itu terjadi terutama disebabkan kelengkapan sumber dan juga dikarenakan adanya sistem sosial dan politik yang berbeda dalam kehidupan masyarakat Islam di Indonesia. Fase pertama antara abad ke-7 sampai dengan abad ke-12 di­mana kehidupan orang-orang Islam tidak diketahui dengan jelas dan sumber-sumber mengenai kehidupan mereka masih langka. Pada fase kedua yang merupakan fase lebih cerah dalam arti kita mengetahui lebih banyak perihal kehidupan orang Islam dan sumber-sumber pun lebih lengkap.
Dalam fase pertama perkembangan Islam sangat lamban. Kiranya hal ini berhubungan dengan cara perluasan Islam itu sendiri. Ada kesan yang kuat bahwa pengembangan Islam dalam fase pertama ini dilakukan terutama dengan cara perkawinan. Buku Sejarah Nasional Indonesia menggambarkan proses tersebut sebagai berikut:
Bagi pedagang-pedagang asing yang datang ke negeri-negeri lainnya biasanya tidak membawa isteri. Karena itu mereka cenderung untuk membentuk keluarga di r-empat yang baru itu. Untuk memperoleh seorang wan ita pribumi yang ada disekitar perkampungannya itu mereka tidak mengalami kesukaran (Hal ini terutama disebabkan kedudukan mereka yang cukup terhormat di masyarakat, pen.). Tetapi perkawinan dengan orang penganut benhala dianggap mereka kurang sah, karena itu wanita tersebut diIslamkan terlebih dahulu dengan cara agar mengikuti mengucapkan kalimat syahadat. Hal itu berjalan dengan mudah karena tanpa ada pentasbihan atau upacara-upacara yang panjang lebar dan mendalam sehingga penganut-penganut yang bukan Islam yang melakukan cara tersebut merasa senang dan segera menyadari bahwa mereka termasuk dalam lingkungan penduduk-penduduk asing yang dianggap lebih daripada mereka.
Tampaknya cara perkawinan in  berkembang luas. Bukan tidak mungkin bahwa wanita pribumi yang dijadikan isteri berasal dari kalangan penguasa di daerah tersebut. Akibatnya kedudukan pedagang-pedagang Islam tadi menjadi semakin kuat. Lagipula keturunan yang dihasi1kan dari perkawinan tersebut tidak saja merupakan generasi Islam pribumi tapi juga merupakan pewaris-pewaris kekuasaan pertama di Indonesia.
Pada suatu ketika pewaris ini menjadi penguasa yang sesungguhnya. Ia merupakan penguasa Islam pertama di daerah tersebut apabila kelak tidak sempat mengikuti jejak ibunya masuk menjadi muslim. Timbulnya penguasa Islam ini memberikan pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan Islam di Indonesia.
Pada umumnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menganggap penguasa adalah panutan hidup. Dalam bentuk yang paling awal penguasa tadi dianggap sebagai wakil dari nenek moyang karena itu ia dianggap sebagai orang, yang harus diteladani. Keyakinan yang demikian berlangsung terus. Pada waktu penguasa tersebut adalah seorang muslim maka rakyat pun banyak pula yang mengikuti jejaknya. Pada masa inilah perkembangan agama Islam menjadi lebih pesat dari masa sebelumnya.
Bukti-bukti mengenai adanya perkawinan tersebut banyak terdapat dalam ceritera-ceritera babad. Sejarah Nasional Indonesia jilid III (1976: 122) mengemukakannya dalam bentuk rangkuman sebagai berikut:
Dalam babad Tanah Jawi  diceriterakan tentang perkawinan      putri Cempa dengan seorang raja Majapahit yaitu Brawijaya, sedangkan ayah putri Cempa itu adaiah seorang misionaris Muslim yang kawin dengan ibunya, anak raja Cempa yang semula bukan penganut Islam. (Dari hasil perkawinan inivnantinya lahir Raden Patah yang kemudian mendirikan kerajaan Demak, pen.). Maulana Iskhak datang di Balambangan dan kemudian melakukan perkawinan dengan putri raja negeri tersebut yang kemudian melahirkan Sunan Giri. Dalam babad Tanah Jawi  itu juga diceritakan perkawinan antara Raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan Nyai Gede Manila, putri tumenggung Wilatikta. Dalam babad Cirebon diceritakan perkawinan antara putri Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati. Babad Tuban menceritakan pula tentang perkawinan antara Raden Ayu (sic.) Teja, putri Aria Dikara yang menjadi adipati Tuban, dengan Seh Ngabdurahman, seorang Arab Muslim yang kemudian mempunyai anak laki-iaki dengan gelar Arab benama seh (sic) Jali atau Jaleluddin.

Kutipan di atas memang berasal dari sumber sejarah tradisional yang kita kenal dengan nama babad. Walau pun babad sebagai sumber sejarah ­harus kita terima dengan hati-hati karena sering tercampur antara realita dengan khayalan tetapi adanya kecendrungan yang universal mengenai peristiwa itu kiranya cukup memberikan petunjuk akan adanya peristiwa searah yang demikian.
Fase pertama proses perkembangan Islam ini tampaknya merupakan cara yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Meskipun demikian fase ini dapat dianggap sebagai peletak dasar untuk perkembangan Islam pada fase berikutnya yaitu dimana masyarakat Islam telah terorganisasi dalam bentuk kenegaraan. Bentuk kenegaraan itu mungkin diperoleh sebagai warisan dari orang tua atau kakeknya atau pun merupakan suatu usaha sendiri dengan bantuan para pengikutnya. Pendirian kerajaan Demak adalah contoh dimana Raden Pacah beserta pengikutnya, mendirikan suatu kerajaan baru.
Fase kedua perkembangan agama Islam di Indonesia memberikan kepada kita gambaran mengenai berbagai kerajaan Islam Indonesia. Kerajaan-­kerajaan ini menyebar di seluruh wilayah Nusantara. Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa telah menjadi suatu kekuatan nyata dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Ia bahkan menjadi kekuatan yang cukup tangguh dalam menghadapi kekuasaan Eropa yang datang kemudian dengan tujuan tidak hanya mencari keuntungan melalui perdagangan, tapi juga mencari keuntungan dengan cara mengamankan daerah komoditi perdagangan itu sendiri.
Dalam fase ini kita juga mengenal adanya usaha penyebaran agama Islam yang dilakukan secara lebih sistematis oleh para pemuka agama. Peranan para penyebar yang di pulau Jawa dikenal dengan nama Wali Sanga memberikan suatu gambaran yang lebih jelas mengenai perkembangan agama Islam. Kesembilan wali tersebut dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalau penyebaran agama Islam di pulau Jawa.
Kesembilan wali tersebut inlah:
  1. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik       
  2. Raden Rahmat atau Sunan Ngampel
  3. Machdun Ibrahim atau Sunan Bonang
  4. Masih Munat (Ma'unat) atau Sunan Drajat
  5. Maulana 'Ainul Yaqin (Raden Paku) atau Sunan Giri
  6. Muhammad Said atau Sunan Kalijaga
  7. Syeh Jatar Sidiq atau Sunan Kudus
  8. Fatahillah atau Sunan Gunung Jati
  9. Sunan Muria.
Dari daftar nama Wali Sanga tersebut terlihat bahwa hanya seorang yang berkedudukan di Jawa Barat yaitu Sunan Gunung Jati. Wali Sanga yang tinggal dan menyebarkan ajaran Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim yang bertempat tinggal di Gresik dan karenanya diberi julukan Sunan Gresik merupakan wali tertua dari Wali Sanga. Keempat wali berikutnya masih mempunyai hubungan kekeluargaan dan menyebarkan agama di Jawa Timur pula. Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sunan Muria adalah para wali yang berasal dari Jawa Tengah terutama Jawa Tengah bagian utara.
Istilah wali itu hanya dipergunakan di pulau Jawa. Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III (1976: 116-117) kedudukan para wali ini bukan hanya sebagai penyebar/pengajar agama. Di samping tugas pokoknya tersebut para wali itu juga bertindak sebagai dewan penasehat dan pendukung raja-raja yang memerintah. Sunan Kalijaga, misalnya, menjadi penasehat raja Demak. Demikian Sunan Giri yang dipergunakan sebagai penasehat Majapahit dalam soal-soal yang berhubungan dengan masyarakat Islam di sana.
Dari sejarah Jawa Barat bahkan kita ketahui bahwa Sunan Gunung Jati adalah pendiri kerajaan Cirebon dan Banten. Ia yang masih keturunan Prabu Siliwangi pada mulanya mendirikan kerajaan Cirebon. Setelah itu ia menguasai Banten dan mendirikan kerajaan Islam di sana walaupun kemudian pemerintahannya diserahkan terutama kepada putranya Sultan Hasanuddin. Oleh karena itu tidaklah aneh apabila dalam Babad Cirebon (Babad Tjerbon yang ditranskripsikan dan diberi catatan oleh J.L.A. Brandes) berkali-kali menyebutkan Sunan Gunung Jati dengan nama panggilan pandita-ratu. Gelar tersebut sangat sugestif menunjukkan kedudukamya baik sebagai Pandira (ulama agama) dan ratu (penguasa)
Sunan Gunung Jati bukanlah satu-satunya wali yang mempunyai hubungan darah dengan keraton. Sunan Ngampel atau Raden Rahmat masih keturunan raja Majapahit. Dengan demikian Sunan Bonang dan Sunan Drajat yang kedua-duanya adalah putra Sunan Ngampel adalah pula wali yang masih mempmyai hubungan darah dengan keraton Majapahit. Sunan Giri masih mempunyai hubungan darah dengan kerajaan Balambangan karena ibunya yang kawin dengan Maulana Iskhak adalah putri raja blambangan. Sunan Kalijaga merupakan putera Tumenggung kerajaan Majapahit.
Perkataan ratu tidak menunjukkan bahwa yang diberi gelar tersebut perempuan. Kata ratu yang mempunyai padanan datu dipakai dalam pengertian baik laki-laki maupun perempuan. Kata keraton yang berasal dari keratuan menunjukkan tempat tinggal raja dan keputren untuk putri-putri. Kata raja yang berasal dari bahasa Sanskerta menjadi kata bahasa Indonesia untuk menunjukkan jenis kelamin laki- laki yang kemudian dijadikan lawan kata ratu untuk perempuan.
Tampaknya yang bukan keturunan keluarga raja dan juga berasal dari luar Indonesia ialah Sunan Kudus dan Maulana Malik Ibrahim.
Kedudukan para wali yang cukup tinggi di kalangan istana dan juga darah keturunan kerajaan yang mengalir di tubuh mereka memberikan keuntungan-keuntungan tertentu dalam penyebaran agama Islam. Masyarakat Indonesia yang masih bersifat "feodalistis" dengan mudah menerima ajaran-ajaran yang diberikan. Dengan demikian jumlah pemeluk agama. Islam makin lama makin bertambah besar.
Pengaruh yang lebih besar dari para wali tersebut terjadi karena mereka adalah pula pendiri pondok-pondok pesantren. Santri yang datang ke pondok-pondok pesantren tersebut berasal dari berbagai daerah. Setelah selesai pendidikan agama di pesantren para santri tadi pulang ke tempat asalnya masing-masing. Di sana mereka menjadi penyebar agama pula sebagai perpanjangan dari lembaga pendidikan pesantren asal. Dengan demikian terjadi di suatu pengaruh yang berantai dari pondok pesantren yang didirikan oleh para wali tadi.
Di samping itu para wali tadi adalah pula pengembang kebudayaan. Sunan Kalijaga adalah salah seorang wali yang terkenal karena mengembangkan permainan wayang untuk mengajarkan agama Islam. Cerita mengenai Kalimasodo (yang dikasud sebenarnya ialah Kalimah Syahadat = Syahadatin) dipercaya berasal dari Sunan Kalijogo. Demikian pula dengan beberapa tembang Jawa. Oleh karena itu tidaklah heran HAMKA (1962: 737) menulis Sunan Kalijaga merupakan wali yang paling dekat dalam hati para muslimin pulau Jawa.
Di luar pulau Jawa istilah wali tidak dipergunakan orang untuk menyebut pengajar agama Islam pada masa ini. Istilah-istilah seperti iman, datu, dan kyai dipergunakan sebagai pengganti istilah wali. Juga para penyebar agama Islam di luar pulau Jawa tidak mempergunakan gelar seperti kebanyakan para wali Sanga. Meskipun demikian tidak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa cara penyebaran agama Islam di pulau Jawa tidak berlaku di daerah lain di Indonesia. Pondok-pondok pesantren atau madrasah tumbuh pula di luar pulau Jawa dan menjadi pusat-pusat pengembangan agama Islam.

d. Peranan Bangsa Indonesia
Pengertian peranan bangsa Indonesia di sini ialah peranan aktif yang dimainkan bangsa Indonesia dalam proses masuk dan perkembangan bangsa Indonesia. Pertanyaan yang dapat diajukan di sini ialah apakah dalam proses masuk dan perkembangan agama Islam di Indonesia memegang peran utama ataukah sebagai pemegang peran tambahan yang merupakan konsekuensi dari faktor wilayah di mana peristiwa itu terjadi? Persoalan ini merupakan pokok bahasan dalam bagian c Kegiatan Belajar I ini.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita tetap berpegang pada fase perkembangan yang kita pergunakan sebelumnya yaitu fase masuknya dan fase perkembangan agama Islam. Penggunaan kedua fase ini memudahkan pembahasan mengenai peranan tadi.
Peranan bangsa Indonesia dalam masuknya Islam di Indonesia sangat tergantung dari konsepsi hipotesis yang dianut mengenai kedatangan agama Islam di Indonesia. Dari uraian yang telah dibahas dalam sub­topik pelajaran maka terlihat bahwa jalur perdagangan seolah-olah dilakukan hanya oleh bangsa dari luar negeri. Teori-teori tersebut menyebutkan bahwa agama Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dari India, Persia, atau Arab. Dengan demikian, teori-teori tersebut menggambarkan bahwa bangs  Indonesia berada dalam posisi peperima dan bukan sebagai pemegang peran aktif dalam mengundang masuknya agama Islam.
Apakah benar demikian? Apakah tidak mungkin bahwa para pedaganag Indonesia berhubungan dagang dengan para pedagang Islam. Tertarik akan ajaran tersebut dan kemudian mengundang para pemeluk Islam untuk mengajarkan agama Islam di Indonesia? Bagaimana dengan kedudukan para pelaut Indonesia yang sudah terkenal sejak zaman prasejarah dan berkembang pada masa pengaruh kebudayaan India?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengundang kita untuk kembali melakukan kajian yang lebih cermat mengenai masa masuknya agama Islam di Indonesia. Artinya, pertanyaan-pertanyaan tadi menghendaki kita kembali melihat informasi-informasi yang ada kalau-kalau dijadikan petunjuk bagi peranan bangsa Indonesia dalam memasukkan ajaran Islam dikalangan bangsanya. Bukti-bukti yang ada harus dikaji kembali untuk mendapatkan infomasi yang diperlukan.
Seperti dikemukakan oleh van Leur (1960) hubungan dagang antara Indonesia dengan India telah terbuka. Bahkan lebih lanjut ia memberikan gambaran bahwa pedagang-pedagang Indonesia telah aktif berdagang di India Selatan. Ia (van Leur, 1960: 80) menulis:
Southern India was the trading regional for Indonesia; the shipping to the east went especially from the southern Indian ports. By means of that trade, whether carried on as Indonesian shipping or through the intermediacy of Indian shipping, the Indonesian rulers and aristocratic groups came into contact with India, perhaps seeing it with the irown eyes. In the same sort of attempt at legitimizing their interests involved in 'inte mat tonal trade' (in the first place vis-a-vis Indian traders themselves), and (though this was probably of secondary importance) organizing and domesticating their states and subjects, they called Indian civilization to the east - that is to say, they summoned the Brahman priesthood to their courts.
Artinya:
India Selatan merupakan daerah perdagangan bagi Indonesia; kapal-kapal ke timur terutama berangkat dari pelabuhan-­pelabuhan di India Selatan. Melalui perdagangan tersebut, apakah dibawa dalam perkapalan Indonesia ataukah melalui perkapalan perantara India, para penguasa Indonesia dan para bangsawannya berhubungan dengan India bahkan mungkin mereka datang sendiri ke India. Dalam usaha untuk menunjukkan minat mereka dalam perdagangan internasional (paling tidak berhadapan muka dengan para pedagangan Indian tersebut), dan (meskipun hal ini hanya merupakan alasan kedua) dalam usaha menata dan mengendalikan pemerintahan dan rakyatnya, para penguasa tersebut mengundang kebudayaan India ke timur-dengan kata lain, mereka mengundang pendeta Brahmana ke istana mereka.

Apa yang dikemukakan oleh van Leur tersebut adalah suatu usaha aktif bangsa Indonesia dalam mengundang kedatangan Brahmana India ke Indonesia. Apakah peranan semacam itu tak mungkin dilakukan oleh para penguasa Indonesia pada masa kemudian, yaitu pada masa masuknya Islam ke Indonesia?
Memang seperti dikemukakan oleh van Leur sendiri bukti-bukti yang ada sangat sukar bahkan untuk hanya membangun suatu hipotesis sejarah. Bukti-bukti yang kita punyai, mengenai masa masuknya Islam tidak cukup untuk membangun hipotesis yang demikian. Lagipula, karakteristik agama Islam yang berbeda dengan agama Hindu menyebabkan kesulitan untuk mengadakan analog  antara keduanya.
Agama Hindu mengakui adanya aturan kasta dimana kasta Brahmana memiliki monopoli dalam mengajarkan agama. Oleh karena itu para pedagang tidak mungkin menjadi penyebar dan pengajar agama. Dengan kata lain penguasa dan aristokrasi Indonesia yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai agama Hindu harus berhubungan dengan kasta Brahmana. Mengundang mereka ke istana merupakan cara yang dapat diperkenankan.
Lain halnya dengan agama Islam. Adanya ajaran yang mengatakan bahwa orang hams menyebar ajaran agama memungkinkan setiap Muslim mempunyai hak untuk melakukannya; apakah ia seorang ulama, penguasa, atau pun pedagang. Dengan demikian, seorang penguasa Indonesia yang ingin mempelajari mengenai agama Islam tidak perlu mendatangkan ulama secara khusus.
Dalam fase kedua peranan bangsa Indonesia dalam menyebarkan agama Islam tampak nyata. Dari cerita para wali kita ketahui bahwa walaupun mempunyai darah campuran sebagian wali itu adalah keturunan keluarga kerajaan Indonesia. Beberapa darinya bahkan sepenuhnya adalah bangsa Indonesia. Dengan demikian peranan aktif telah dipegang oleh bangsa Indonesia.
Bukti-bukti lain mengenai peranan aktif itu dapat pula kita jumpai. Para pedagang Jawa berlayar sampai ke bagian timur kepulauan Nusantara membawa serta ajaran Islam bersamanya. Mereka sambil berdagang juga menyebabkan ajaran tersebut di daerah-daerah penghasil rempah-rempah di Banda, Ambon dan Maluku bagian utara (Ternate dan Tidore). Oleh karena itu van leur menamakan mereka Pedlar missionaries  (pedagang yang juga menjadi misionaris).
Di Sumatera, Kalimantan, dan juga Sulawesi serta pulau-pulau lain di Indonesia peranan aktif bangsa Indonesia dalam menyebarkan Islam sangat menonjol. Di dalam Hikayat Banjar misalnya diceritakan mengenai penghulu dari kerajaan Demak yang datang ke sana dan mengajarkan agama Islam kepada Raden Samudra atau Sultan Suryanullah dan patih-patihnya (Sartono Karodihardjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, 1976: 117). Di Sulawesi dan Kalimantan Timur agama Islam diajarkan oleh Dato'ri Bandang dan Dato Sulaeman.
Dalam masa-masa kemudian makin banyak orang Indonesia yang pergi ke Mekah dan belajar agama tersebut secara lebih mendalam. Malaka di Semenanjung Melayu juga merupakan pusat pendidikan agama Islam yang penting. Mereka ini setelah pulang menjadi penyebar agama di tempatnya masing-masing. Aceh yang mendapat julukan Serambi Mekah kiranya menggambarkan peranan penting daerah tersebut sebagai pengembang agama Islam di Indonesia.         
4.1.2 Latihan 1
Agar Anda menguasai materi yang telah diuraikan kerjakan latihan di bawah ini dengan cermat, teliti, dan sungguh-sungguh. Apabila saudara mengalami kesulitan dalam memberikan jawaban tehadap pertanyaan dalam latihan tadi, pergunakan petunjuk yang mengikutinya sehingga Anda dapat mengerjakan latihan ini dengan baik.
1.    Mengapa alur perdagangan laut sangat penting artinya bagi penyebaran agama Islam di Indonesia.?
2.    Apakah jalur perdagangan tesebut terjadi pada waktu adanya pedagang Islam? Apabila ya, mengapa? Apabila tidak, bilamana alur perdagangan tersebut dipergunakan?
3.    Mengapa proses masuknya agama Islam di Indonesia dikatakan berlangsung secara damai?
4.    Teori apa saja yang dapat Anda kemukakan mengenai proses masuknya agama Islam di Indonesia?






Bahan Ajar

SEJARAH INDONESIA





Oleh
Prof. Dr. Eddy Lion, M.Pd

Disusun dalam Rangka Peningkatan Kualifikasi Serjana (S1) Kependidikan Bagi Guru dalam Jabatan

FKIP Universitas Palangkaraya



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2009/2010

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar